Wong Tengger
CUKAI

Wong Tengger

[dropcap custom_class=”normal”]B[/dropcap]

agi anda para traveler, pasti sudah tak asing lagi dengan paket wisata Gunung Bromo dan Semeru. Panorama alam, matahari terbit, situs kaldera dan lautan pasirnya, udara dingin dan halimun, serta berbagai pesona wisata budaya di sekitar Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru ini jelas demikian menakjubkan hingga menyihir dan menarik minat bayak orang beranjangsana.

Tapi, barangkali tak banyak dari anda yang tahu tentang wong Tengger, yaitu masyarakat ‘sub-suku Jawa’ yang mayoritas dari mereka memeluk agama Hindu (versi pemerintah – red.), dan masih setia memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Wong Tengger tinggal di desa-desa sekitar Gunung Bromo dan Gunung Semeru, berada pada ketinggian sekitar 2.392 mdpl dan tersebar meliputi 4 kabupaten. Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Lumajang.

Sepintas tak beda dengan etnis Jawa pada umumnya. Anda jangan membayangkan wong Tengger itu laiknya masyarakat Badui atau Suku Anak Dalam, yang karena alasan-alasan adat istiadatnya sengaja memisahkan diri dari kehidupan ramai. Anda juga jangan membayangkan mereka tak mengenal piranti-piranti teknologi modern. Anda tentu kecewa jika bermaksud mencari model eksotisme kacangan semacam itu. Masyarakat Tengger tak menawarkan itu.

Tapi jika kita simak tuturan mereka segera terlihat masyarakat Tengger ternyata tak mengenal sistem stratifikasi bahasa seperti bahasa Jawa. Dengan demikian masyarakat Tengger juga tak mengenal bentuk-bentuk hubungan sosial yang hirarkis dan tak setara. Bagi mereka, semua orang dianggap sama (padha) dan satu keturunan (sakturunan). Karena konsep padha dan sakturunan itulah mendasari bentuk-bentuk hubungan sosial masyarakatTengger menjadi cenderung egaliter, tidak mengenal kasta, tidak bergaya hidup priyayi, dan, lebih dari itu, juga memiliki rasa kekeluargaan serta solidaritas sosial yang tinggi.

Thomas Stamford Raffles, sangat mengagumi semesta tata nilai-nilai wong Tengger. Pada 11 September 1815 di depan forum Masyarakat Seni dan Sains Batavia (Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen), Raffles berpidato melaporkan perjalanannya ke beberapa distrik di Jawa bagian timur, salah satunya yaitu kawasan Tengger. Reffles menuturkan masyarakat Tengger hidup dalam suasana damai, tertib, teratur, rajin bekerja, jujur, dan mereka selalu tampak riang-gembira. Dalam The History of Java ia menulis: mereka juga tidak mengenal candu dan judi. Bahkan konon Raffles menanyakan lebih jauh tentang adanya pencurian, perselingkuhan, perzinahan, atau berbagai bentuk kejahatan lainnya, wong Tengger itu menjawab, hal-hal buruk itu tidak pernah terjadi. Jawaban wong Tengger tentu sangat mengejutkan Raffles, terlebih jika kita mengingat rekam-jejak penguasa kolonial itu tercatat pernah menjarah secara besar-besaran kekayaan harta-benda dan pusaka keraton pada masa Hamengku Buwana II.

Ayu Sutarto, seorang budayawan dan peneliti dari Universitas Jember tergelitik dengan tuturan Raffles itu. Saat ia meneliti masyarakat Tengger selama lima tahun pada tahun 1990, Ayu Sutarto mendapati angka-angka kejahatan di desa-desa Tengger pada umumnya hampir selalu nol. Sekalipun didapati adanya tindak kriminal, pelakunya umumnya adalah wong ngare, yaitu mereka yang tinggal di dataran rendah, dan bukan wong Tengger.

Secara historis, mudah diduga, kita pasti hanya memiliki sedikit sekali data arkelologis yang dapat mengungkap siapa dan sejak kapan serta bagaimana kehidupan wong Tengger. Namun setidaknya dari sumber prasasti yang ditulis jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri, diketahui adanya sebuah desa bernama Waladit. Ya, demikianlah nama Tengger saat itu, sebuah daerah perdikan, swatantra, yang masyarakatnya dibebaskan dari ketentuan membayar pajak.

Prasasti Muñcang (944) menceritakan, bahwa Mpu Sindok memerintahkan mendirikan tempat puja bakti bernama Siddhayoga di Walandit, tempat di mana para pendeta memanjatkan persembahan kepada Sang Hyang Swayambhuwa (Dewa Brahma). Prasasti itu juga menerangkan bahwa desa Walandit adalah tempat suci yang dihuni para hulun hyang, yakni orang-orang yang mendidikasikan hidupnya bagi para dewata. Sedang Prasasti Pananjakan (1405), yang ditulis pada zaman Raja Hayam Wuruk semakin mengukuhkan posisi dan peran wong Tengger pada masa lalu. Dalam prasasti ini, Raja melarang penagihan pajak pada bulan titileman atau akhir bulan Asada dari warga Walandit dan wilayah keramat (hila-hila) sekitarnya, karena di sana sejak dulu tinggal para hulun hyang, abdi dewata, dan pada bulan itu penduduknya wajib melakukan persembahan kepada Sang Hyang Gunung Brahma (Dewa Brahma).

Empu Prapanca, seorang pujangga sohor yang hidup di zaman Majapahit, dalam Kakawin Negarakertagama (1365) juga menyebut keberadaan Desa Waladit, sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh Kerajaan Majapahit. Di tempat ini seturut catatannya bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Siwa.

Tak kecuali Serat Centhini (1814) juga menceritakan perihal pertemuan Raden Jayengsari dan Resi Satmaka. Raden Jayengsari beragama Islam, sementara Resi Satmaka beragama Buddha. Pertemuan itu konon terjadi di Desa Ngadisari, desa paling atas yang juga paling dekat dengan Gunung Bromo. Resi Satmaka menceritakan adat istiadat leluhur dan tata cara beragama wong Tengger, serta tak lupa menerangkan keberadaan dewa-dewanya yang antara lain, Sambo, Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, dan Kala. Sebaliknya, Raden Jayengsari menceritakan agama Islam yang dipeluknya, yang merupakan kesinambungan dan penyempurnaan sejak Nabi Adam, Sis, Nuh, Ibrahim, Dawud, Musa, Isa sampai Muhammad. Mudah diduga, dialog keagamaan itu selain berlangsung damai dan bersahabat tentu juga bermuara pada titik pemahaman yang sama.

Demikianlah penduduk Desa Walandit, yang punya peran penting sejak masa Mpu Sindok hingga Hayam Wuruk, diyakini sebagai cikal-bakal keberadaan wong Tengger saat ini. Namun jika ditanyakan sejak kapan komunitas yang tinggal di kawasan Bromo-Tengger-Semeru disebut dengan nama “Tengger”, sayangnya hingga kini belum ada keterangan sejarah yang pasti.

Sekalipun demikian wong Tengger sendiri nampaknya begitu meyakini, bahwa nama Tengger berasal dari paduan dua suku kata tearkhir dari nama nenek moyangnya, yaitu Rara Anteng (TENG) dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng dipercaya putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit, sementara Jaka Seger adalah putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger. Selain itu, wong Tengger juga sering menegaskan bahwa istilah Tengger itu mengacu kepada pengertian ‘tengering budi luhur’, yaitu bahwa wong Tengger ditandai atau dicirikan oleh sifat-sifat budi pekerti luhur.

Ya, suasana jujur, aman, tenteram, dan lagi penuh toleransi yang tecermin pada kehidupan sehari-hari wong Tengger itu, pernah membuat Raffles tertunduk malu. Bromo – Tengger – Semeru seolah-olah mengingatkan kita pada imajinasi tentang sebuah daerah misterius yang berada di antara puncak-puncak gunung bersalju di Himalaya. Ya, itulah Shambhala, yang dalam bahasa Sansekerta berarti “tempat kedamaian” atau “tempat keheningan,” sebuah simbol penghubung antara dunia nyata dan dunia transendensi. Ya, Tengger dan wong Tengger adalah Shambala itu, sebuah pusaka saujana yang terpelihara secara bestari sejak masa antah berantah di masa lalu.

Tinggalkan Balasan