teologi priyayi
REVIEW

Teologi Priyayi dan Kelas Menengah

Teologi Pembebasan ingin mengubah dunia untuk mengubah manusia, sementara Teologi Priyayi justru nerimo mengubah manusia untuk tidak mengubah dunia.

teologi-priyayi-dan-kelas-menengah

Nirwan Ahmad Arsuka pernah menulis esai menarik berjudul Priyayi, Kerja dan Sejarah di kolom Bentara Budaya (2000). Dalam tulisan itu Arsuka megenalkan sebuah istilah “teologi priyayi”, yang batasan definisinya dia rumuskan dari pembacaannya terhadap novel Jalan Menikung – Para Priyayi 2 karya Umar Kayam. Terlepas aspek nilai sastrawinya, menurut Arsuka hanya sak madya saja, tapi novel ini menurutnya memberi terang pada dokumen sosial-budaya lainnya khususnya terkait nalar budaya orang Jawa.

Menurut Arsuka, jika Teologi Ortodoks ingin mengubah manusia untuk mengubah dunia, dan Teologi Pembebasan ingin mengubah dunia untuk mengubah manusia, sementara Teologi Priyayi justru nerimo mengubah manusia untuk tidak mengubah dunia.

Barangkali nasihat ndoro Seten kepada Sastrodarsono, tokoh utama novel Para Priyayi saat ia menerima jabatan pertamanya sebagai guru bantu itu, dapat memberikan gambaran pada kita tentang arah tulisan Arsuka.

“Kau tahu, Le. Ini langkah yang sangat penting dalam hidupmu. Kau mulai masuk dalam kalangan priyayi. Kau bukan petani lagi. Diingat-ingat itu, Le. Duniamu mulai sekarang akan lain. Tahulah membawa diri dalam dunia yang baru itu. Kalau kau hati-hati, jujur dan setia pada atasan dan peraturan Gupermen pasti kau berhasil naik pangkat. Jalan menuju dunia priyayi sekarang ada di depanmu, Le.”

Seusai membaca Jalan Menikung, Arsuka bertutur segera dia teringat pada dua surat penting, yang kehadirannya menjadi kritik terhadap nalar budaya Jawa. Pertama, surat Ben Anderson kepada para priyayi di Jakarta, atau lebih tepatnya para kelas menengah di Indonesia. Surat Ben dimuat di majalah Tempo edisi khusus tahun 2000, belum genap dua tahun sejak kejatuhan Orde Baru. Kedua, surat Dr Tjipto Mangoenkoesoema kepada Dr. GAJ Hazeu hampir satu abad lalu, yang diungkap Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak.

Surat Ben, bukan semata kritik. Dengan merujuk pada tokoh Sastro Kassier, Ben memberi kecaman sengak kepada para priyayi dan bangsawan Nusantara yaitu mereka para anggota kelas menengah Indonesia itu. Ben menunjuk Sastro Kassier sebagai padanan karakter kelas menengah. Sastro Kassier alias Paiman alias Sastrowongso adalah tokoh dalam novel Anak Semua Bangsa karya Pramodya Ananta Toer. Dalam eseinya Arsuka mengutip surat Ben yang menukil karya Pram.

”Tapi Jabatan: dia segala dan semua bagi pribumi bukan tani dan bukan tukang. Harta-benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat … Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, berbohong, membanting tulang, mencelakai sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali.”

Menurut Ben, seandainya ada yang bisa disebut sebagai misi historis bagi spesies Sastro Kassier itu, maka itu adalah sekadar menjadi belantik antara penjajah dengan penduduk tanah jajahan, antara kapitalisme internasional dengan rakyat jelata. Tak aneh sekiranya, lanjut Ben, setiap kali penindas dan penguasa berganti, dengan sumarah kelas itu menghambakan diri pada rezim baru sembari mengutuk-ngutuk rezim terdahulu yang tadinya mereka topang dan sanjung puji juga.

Berpijak dari konteks ini Arsuka kemudian mendalilkan bahwa, nalar budaya Jawa yang menjadi kontruksi teologi priyayi ditandai beberapa hal (pattern) yaitu: kultur ogah sejarah, enggan pada perubahan dunia dan kemajuan, yang berarti juga enggan pada kerja atau dunia praksis dalam arti Marxian. Cita-cita duniawi para priyayi adalah cita-cita mistik kebatinan: tatanan sosial seimbang dan tenang. Ini dapat dicapai melalui kepatuhan dan penyesuaian diri manusia priyayi yang akan memberikan sumbangan optimal pada terbentuknya keselarasan masyarakat dan, karena itu, juga pada hadirnya kesejahteraan umum serta bagi dirinya sendiri untuk mencapai ketenangan batin.

Wajar saja sekiranya para priyayi itu, lanjut Arsuka, memiliki strategi kebudayaan laiknya kura-kura Chelonia yaitu menarik kepalanya masuk ke dalam cangkang batin yang luar biasa elastis dan tebal itu. Sehingga, seperti ditunjuk Daniel Dakhidae, ketika terjadi krisis kekuasaan mereka bukannya segera bermaksud membereskan krisis yang terbentang di dunia-luar, dunia-obyektif itu, tapi justru memilih kembali masuk ke dunia-dalam, dunia-subyektif: nembang, kehalusan budi. Dengan begitu bagi nalar Jawa, menyerahkan semua masalah dan konflik ke tangan waktu adalah model solusi paling berbudaya. Tak aneh sering kita dengar seloroh ‘common sense’ bernada bijak dari banyak orang Jawa, “ah…biarkanlah waktu jua yang nantinya akan menyelesaikan semuanya sendiri.”

Celakanya watak dasar nalar budaya Jawa yang nir-sejarah itu, seturut Arsuka adalah sikap diametral dengan iklim budaya masyarakat modern. Nampaknya pada nalar budaya Jawa, ide tentang sejarah, dengan kesadaran dan misi historisnya, adalah ide yang ganjil. Atau setidaknya tak berada di lokus utama nalar budaya Jawa. Sementara masyarakat modern adalah masyarakat sejarah, yang semenjak memasuki Zaman Pencerahan telah memantik munculnya kesadaran bahwa species manusia merupakan satu-satunya subyek yang punya sejarah, sadar sekaligus tahu akan arah proyek sejarah liniernya sendiri: kemajuan!

Nah, dalam perspektif kesadaran sejarah itulah Indonesia sejatinya dilahirkan. Ya, andai kita menoleh ke belakang nampak jelas bahwa Indonesia adalah proyek sejarah, setidaknya demikian disadari oleh para founding parents. Tanpa sejarah, tanpa adanya kesadaran dan misi historis, takkan pernah ada Indonesia. Pada titik ini Arsuka mengajak kita mencermati tokoh-tokoh terdepan di bidang politik dan kebudayaan yang inspiratif dalam memperjuangkan kehadiran Indonesia. Arsuka di sini merujuk nama Tan Malaka, Hatta dan Syahrir. Selain itu, juga merujuk Heather Sutherland dalam artikelnya di jurnal Indonesia no 6 (Cornell Univ, Okt. 1968), yang menyebutkan bahwa di antara 25 penulis paling aktif di majalah Poedjangga Baroe, yang notebene pada waktu itu menghimpun sejumlah besar penulis nasionalis, ternyata hanya tercatat 3 orang berasal dari Jawa.

Celakanya lagi, masih seturut Arsuka, Presiden Soeharto dan lahirnya Orde Baru semakin intensif membawa masuk nalar budaya Jawa ke dalam jasad Indonesia. Bagaimana seorang Soeharto bisa dengan wajah sumringah mendudukkan dirinya sebagai Sang Prabu, yang lebih sultan dari sultan, menyiapkan kompleks makam yang kolosal dan tak seorangpun di negeri ini tertawa menjadikannya bahan lucu-lucuan, jelas mengisyaratkan kukuhnya nalar priyayiisme itu. Sikap patuh orang Jawa, juga para priyayinya, yang selalu berkata ya dan amin pada kekuasaan. Sikap mencari rasa aman karena semata-mata bermaksud diri mendaki dengan segala cara tangga status sosial setinggi-tingginya bagi dirinya sendiri.

Itulah inti nalar priyayiisme. Tapi, ini sekaligus juga berarti kemenangan nalar nir-sejarah ala Jawa itu sebagai pembentuk ‘milieu’ nalar KeIndonesiaan. Lebih jauh, Arsuka mengatakan nalar priyayisme telah menjadi kanker bagi bangsa ini. Tak hanya menjangkiti para priyayi Jawa, tapi priyayi Bugis-Makassar, priyayi Riau dan segala macam tuan dan nyonya besar yang tersinggung jika babunya tak jongkok di depannya juga tak terkecuali, tulis sinis Arsuka.

Seabad yang lalu, tepatnya pada 16 Januari 1916, Tjipto Mangoenkoesoema menulis kritik atas kemerosotan moral orang Jawa. Tulisan itu ditujukan sebagai kritik terhadap kehidupan para priyayi Jawa sekaligus mengolok-olok Sunan Surakarta karena telah kehilangan “sikap mandiri dan teguh”. Tjipto menulis tentang penyakit yang melanda orang Jawa, yakni kurangnya semangat perlawanan. Bagi Tjipto, satu-satunya obat bagi penyakit itu adalah “pengorganisasian rasa tak puas”. Tjipto bertanya, mengapa perlawanan gigih dan penuh energi seperti Pangeran Diponegoro tidak menjadi karakter para priyayi sepanjang zaman? Biarpun kalah berperang, Diponegoro toh sudah membuktikan bahwa orang Jawa sebenarnya memiliki “dasar etis yang sehat”, ujar Tjipto.

Menutup tulisan Arsuka mengatakan, benar bahwa dari sudut “estetik dan artistik”, kemampuan nalar Jawa merelatifkan segala sesuatu, dan menjadikannya lelucon, jelas adalah khazanah budaya yang sangat berharga. Namun dilihat dari sudut “budaya-dan-filsafat-politik”, banyak hal dalam nalar budaya Jawa harus ditilik periksa dan dibongkar kembali. Dan tampaknya kemampuan nalar Jawa merelatifkan segala sesuatu itu, pertama-tama justru harus diuji dalam pembongkaran budaya-dan-filsafat-politiknya sendiri. Dengan begitu lebih jauh menurut Arsuka, menjadi tugas kita adalah membongkar Indonesia yang ditumpangi nalar Jawa dan mengembalikannya ke “habitat metafisisnya”: Yaitu, “dunia moderen dengan semesta dinamik Gerak-Hidupnya, dengan segenap gelora solidaritasnya pada sesama dan ekspresi positifnya atas emansipasi manusia”.

Tanpa itu, mudah diduga sampai kapanpun juga kelas menengah Indonesia akan terbenam pada nalar priyayiisme, nir-sejarah dalam tilikan diskursifnya, dan tak pernah mengemban kesadaran dan misi historisnya baik itu sebagai borjuasi nasional maupun nasionalis, selain mengejar keselamatan dirinya sendiri. Ya, sekadar mengejar keselamatan dirinya laiknya tokoh Sastrodarsono dalam novel Jalan Menikung atau bahkan seorang Sastro Kassier dalam Anak Semua Bangsa, yaitu sebuah prototipe mentalitas dan moralitas yang menjadi anasir utama dari terbentuknya kelas menengah ngehek!

Tinggalkan Balasan