logo boleh merokok putih 2

Ritus Mitoni Jabang Bayi Kinanti Sekar Rahina

Tuhan, terimalah rasa syukur kami atas karunia yang Engkau berikan pada kami. Semoga berkah dan rahmat-Nya selalu memberkatimu, Nak, juga untuk orang-orang yang ada disekitarmu, hingga kelak anak keturunanmu.

Jika bukan karena nazar, Jemek Supardi sudah pasti tidak akan memotong rambutnya yang gimbal dan panjang melewati bahunya yang ringkih. Rambut yang telah sekian lama menjadi ciri khas penampilannya, baik dalam keseharian maupun dalam jagad seni peran pantomim.

Di pelataran Omah Petroek yang terletak di kaki gunung Merapi, lelaki berusia 63 tahun ini tampil Njawani. Mengenakan blangkon dengan beskap motif kembang warna hitam, gesturnya bergas, wajahnya sumringah sambil selalu menyapa tamu yang hadir pada perayaan Mitoni putrinya, Kinanti Sekar Rahina.

Saya menemuinya di tepian sebuah altar dalam dingin lereng merapi yang baru saja diguyur hujan bulan Desember lalu. Malam itu lampu lampu menyala terang di antara pepohonan, diatur sedemikian rupa untuk menjaga keindahan gerak tarian yang akan dibawakan Sekar bersama teman temannya.

Sepanjang jalan menuju altar berderet cahaya api berasal dari wadah potongan kaleng yang diberi minyak, jalan yang akan digunakan para penari menuju altar pertunjukan. Jemek bercerita banyak hal mengenai Sekar juga tentang kegembiraaannya menyambut calon cucu pertamanya.

“Saya tidak menganjurkan Sekar untuk menjadi penari, saya membebaskan apa saja yang dia cita-citakan. Tapi sejak TK nol besar Sekar sudah meminta untuk belajar menari,” demikian Jemek bercerita.

“Bayangkan,” lanjut Jemek, “Balet itu tariannya anak-anak orang kaya. Anak-anak yang menari di sana diantar oleh orang tuanya dengan mobil. Sementara saya mengantar Sekar dengan Vespa butut,” katanya.

Saat menceritakan hal itu matanya berpendar, bibirnya bergetar mengenang masa pahit hidupnya di masa lalu.

Kinanti Sekar Rahina mulai menari sejak TK nol di kelas balet. Kecintaannya pada tari membawanya mengenal berbagai jenis tarian, hingga 2005 dia berlabuh pada tarian tradisional yang ditekuni sampai sekarang. Bakat tarinya membawanya pentas ke berbagai negara seperti Thailand, Jepang dan Singapura.

Malam makin naik, udara kian dingin. Di dalam ruang pendopo bagian atas Omah Petroek, para pengrawit – orang yang menabuh gamelan – duduk dalam hening. Puluhan perempuan mengenakan kemben berdiri berjajar memegang lilin yang menyala di depan dada.

Seorang perempuan membawa sepasang kelapa gading sebagai ubo rampe (makanan dalam sesaji) ritual. Dalam kehamilannya, Sekar mengenakan gaun perpaduan Sari India berwarna kuning bersalut ronce melati mengelilingi tubuh bagian atasnya. Dia diapit 4 penari sebagai pembuka dan 2 penari mengiringi di belakangnya.

Gamelan perlahan berbunyi mengiringi langkah penari menuju altar, melangkah ke timur di mana matahari muncul pagi hari. Lindap. Mistis. Langkah-langkah itu seperti bidadari mengiringi calon pangeran dalam rahim yang sebentar lagi akan lahir. Dalam gemulai langkah, tangan kanan Sekar menyangga perutnya. Telapak tangan itu menyalurkan energi cinta kasih bagi jabang bayi dalam rahimnya.

Ritus Mitoni pada tradisi Jawa merupakan upacara tujuh bulan usia kehamilan pertama. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada tanggal ganjil sebelum bulan purnama pada penanggalan Jawa. Harapan dan doa dipanjatkan oleh ibu dan keluarganya agar si jabang bayi lancar dalam proses persalinan, sehat jasmani dan rohani.

Bagi seorang penari seperti Sekar, doa itu dipanjatkan dalam ritual tari. Dia mengajak jabang bayi dalam rahimnya menari sambil batinnya terus memanjatkan doa. Dia mendidik calon anaknya dengan cara yang lain, cara seorang penari yang luruh dalam tradisi Jawa.

Gagasan ritus Mitoni sebenarnya muncul tatkala dia bertemu dengan Romo Sindhunata di Omah Petroek, Karangklethak. Pada bulan April itu, Sekar berencana akan membawakan repertoar “Aburing Kupu-kupu Kuning” dari buku karya Sindhunata.

Namun dia merasakan tubuhnya berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang hadir dalam tubuhnya. “Sepertinya kita kedatangan tamu,” kata Sekar kepada suaminya, Bagas Arga.

Mereka bersyukur. Berharap dan selalu berdoa karena penantian 4 tahun sejak mereka menikah akhirnya dikabulkan oleh Sang Maha Agung. Ritus Mitoni tercipta karena ungkapan doa dan rasa syukur atas penantian panjang akan kehadiran jabang bayi.

Sekar bersama suaminya membicarakan hal ini dengan Romo Sindhunata dan Joko Santosa. Gagasan di dedah. Jadwal dan tempat syukuran ditentukan. Joko Santosa menuliskan Mantra, sedulur sanggar menyambut gembira. Dan malam ini gamelan karawitan Ethnocentric mengalun dalam hening ritus Mitoni.

Enam penari dan Sekar perlahan turun dari tangga altar dalam irama yang lamban. Tak ada gerak dengkek bagi Sekar karena keberadaan jabang bayi dalam rahimnya. Dia membebaskan keenam penari yang melakukan ritus melakukannya, kiprah, selendang ditebar, dan putaran tubuh ritmis seperti para darwis yang berzikir.

Sekar, di tengah altar menghayati kebersamaannya dengan jabang bayi dalam rahimnya. Tangannya tak henti menyentuh perutnya yang buncit. Wajahnya lembut dengan tatapan mata ke dalam batin, terkadang mata itu terpejam mengosongkan pikiran, menyatukan hati dengan jabang bayi.

Dia mengajak jabang bayinya menari. Namun kalbunya berdoa dalam setiap tarikan nafasnya. Di tengah altar dalam hening malam, tangan kirinya melempar selendang ke langit, sedang tangan kanannya menyentuh perutnya, dan kalbunya bermunajad:

“Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk menantimu, Nak. Dalam setiap doa kupanjatkan agar Tuhan menganugrahi dirimu hadir di antara kami. Kini, Tuhan telah menganugrahi rahim ini untuk engkau jadikan rumah pertamamu sebelum kau berada di antara kami yang selalu merindukan kehadiranmu.

Tuhan, terimalah rasa syukur kami atas karunia yang Engkau berikan pada kami. Semoga berkah dan rahmat-Nya selalu memberkatimu, Nak, juga untuk orang-orang yang ada disekitarmu, hingga kelak anak keturunanmu.

Tumbuh dan sehat selalu dalam rahimku, Nak. Karena cintalah kita selalu bersama.

Kini dalam ruang yang berbeda, kau terus menemaniku. Aku belajar dari caramu bergerak dan berdetak. Aku belajar berbincang dalam ruang yang berbeda. Kini, marilah kita menari bersama sebagai wujud rasa syukur dan doa yang kita panjatkan untuk Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Sekar menutup ritus Mitoni dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Para penari berjalan menuju pendopo di depan altar. Di ruangan itu sudah tersedia tumpeng dan ubo rampe bagi penutup ritus. Doa dipanjatkan oleh Joko Santosa, air suci dituangkan ke telapak tangan Sekar untuk diminum. Sepasang merpati dilepas, bebas.

Lalu Sekar mengajak pengunjung menuju galeri yang terletak tak jauh dari pendopo untuk melihat pameran lukisan yang juga bertemakan Mitoni. Peserta pameran merupakan seniman yang mumpuni, Bambang Herras, Budiyana, Budi Ubrux, Diah Yulianti, Dicky Takndare, Hari Budiono, Hermanu, Joko Gundul, Laksmi Shitaresmi, Lik Jie, Susilo Budi Purwanto, Sigit Santosa, Treeda Mayrayanti, dan Yuswantoro Adi.

Jemek Supardi tak kuasa menahan kegembiraan usai melihat ritus Mitoni putrinya. Dia berjalan berkeliling menyapa dan menyalami nyaris tiap tamu yang dikenalnya. Penantian panjang 4 tahun memiliki cucu sebentar lagi terkabul.

Lelaki yang semasa mudanya ndugal itu berkali kali mengucapkan syukur kepada Tuhan. Selamat Jemek. Selamat Kinanti Sekar Rahina. Terus berkarya, sebagaimana pesan Romo Sindhunata “Berkaryalah dengan jujur hingga penonton akan menikmatinya dengan kejujuran.”

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Eko Susanto

Eko Susanto

Fotografer profesional, tinggal di Yogyakarta dan bekerja di Klinik Buku EA.