Rahasia Sehat Masyarakat Ciptagelar
PERTANIAN

Rahasia Sehat Masyarakat Ciptagelar

[dropcap]K[/dropcap]onsep kesehatan modern lazimnya berangkat dari titik asumsi, melihat kesehatan tubuh manusia dengan analogi sebuah ‘mesin’. Karena itu seringkali kemudian bekerja dengan metodologi ‘generalis’ alias pukul rata. Ini mudah dipahami. Standarisasi kerja profesional dokter cenderung menisbikan berbagai asumsi latar belakang lingkungan, kebudayaan dan bagaimana pasien menghayati kehidupannya. Tak aneh pengobatan modern yang dipraktikan dokter sering dikritik bekerja hanya berdasar logika ‘gejala’ (symptom), dan tak pernah menjurus ke akar persoalan sesungguhnya.

Ini kasat mata dalam diskursus rokok sebagai biang utama gejala degeneratif kesehatan bahkan kematian. Perspektif kesehatan modern tak hanya menggeneralisasi kasus, lebih dari itu juga mensimplifikasi kompleksitas problem kesehatan masyarakat modern yang notabene hidup di ruang ekologi industrial. Lingkungan hidup yang buruk, air dan udara penuh polutan karbon dan timbel, budaya kerja yang memekaniskan manusia, tingkat stress tinggi, dan belum lagi faktor konsumsi atau gaya hidup yang sering berlebihan, adalah habitus hidup manusia modern yang entah langsung atau tidak-langsung merupakan faktor penentu munculnya penyakit baru, turunnya daya tahan tubuh, fenomena degeneratif dan bahkan kematian. Artinya dari sini saja sesungguhnya mudah diduga, mendudukkan rokok sebagai biang utama fenomena degeneratif dan bahkan kematian bagi manusia ialah sebuah diskursus sesat pikir.

Tanpa perlu melakukan kajian demografi skala nasional untuk menghitung tingkat kematian penduduk karena rokok yang perlu biaya besar, Kementerian Kesehatan sebenarnya cukup melakukan kajian lapangan ke masyarakat Kasepuhan Ciptagelar untuk membuktikan dalil dan prasangkanya tentang rokok. Andai Kementerian Kesehatan jujur, hasilnya mudah diduga. Setidaknya pada studi kasus masyarakat Kasepuhan, hubungan konsumsi rokok dan tingkat kematian adalah “negatif”.

Seperti diketahui, masyarakat Kasepuhan hampir semuanya adalah perokok. Bagi mereka rokok merupakan salah satu material penting dalam upacara dan ritual adat sekaligus media komunikasi dengan para leluhurnya. Rokok dan tindakan merokok memiliki makna signifikan sebagai upaya masyarakat Kasepuhan meneruskan keberlangsungan dan kesinambungan praktik tradisi dan ritus budaya leluhurnya.

Konon kebiasaan merokok sudah berlangsung selama ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu. Selain asumsi bagan kebudayaan di atas, kebiasaan ini juga tak terlepas dari anggapan masyarakat Kasepuhan yang memaknai tembakau justru sebagai tanaman obat. Rokok dengan demikian dimaknai sebagai entitas herbal atau jamu, terlebih khususnya rokok yang dilinting dengan pembungkus daun aren.

Yang membuat masyarakat Kasepuhan menarik jadi sampling ialah, sekalipun mayoritas warga adalah perokok namun usia rata-rata harapan hidupnya ternyata sangat tinggi. Dari hasil wawancara kami terhadap tokoh muda di sana, diketahui banyak kasus warga Kasepuhan berhasil mencapai usia hidup di atas angka seratus tahun. Menariknya lagi, meski usia sudah mencapai seratusan tahun lebih, namun mereka masih aktif bekerja, mengolah sawah, ladang dan mencari kayu bakar di hutan, memiliki daya ingat yang terawat baik, dan tentunya juga masih suka klepas-klepus.

Jelas, dalam banyak hal, mereka tentu sangat berbeda dengan orang kota. Selain gaya hidupnya sederhana, enggak neka-neko dan piawai mengelola keinginan dan harapan, tingkat stress rendah, lebih dari itu perihal konsumsi mereka juga cenderung menghindari makanan yang digoreng. Seperti diketahui masyarakat Kasepuhan mengenal istilah “bubuhi kulub sepang bakar” sebagai teknik memasak. Di-bubuhi adalah dengan cara dimasukkan ke dalam abu tungku perapian; di-kulub itu direbus, di-sepang itu dikukus, dan terakhir dibakar. Seandainya bermaksud menyajikan makanan dengan cara digoreng lazimnya menggunakan minyak kelapa dan bukan minyak sawit. Kebiasaan dan pola makan adalah beberapa rahasia sehat Masyarakat Ciptagelar.

Tanpa terkecuali kondisi lingkungan alam yang notabene masih terpelihara baik, air dan udara masih bersih, beras dan makanan pokok lain merupakan hasil budidaya tanpa pupuk kimia, tentu turut menjadi variabel dan faktor penentu kesehatan dan tingginya usia rata-rata harapan hidup.

Selain itu, menurut salah satu warga Cipatgelar, dengan merujuk kasus si-aki (orang tua) yang berumur mencapai lebih dari seratus tahun—salah satunya konon berumur 128 tahun dan satunya lagi bahkan mencapai usia 213 tahun pada 2009—ketika ditanyakan perihal rahasia umur panjang mereka, jawabnya sungguh mengejutkan: “seumur hidup mereka sama sekali tak pernah mengonsumsi obat-obatan modern atau bahkan disuntik.”

Menutup pembicaraan sore itu, salah satu warga Ciptagelar yang kami wawancarai sambil berkelakar menunjuk ‘ular’ sebagai simbol industri farmasi, menurutnya hal itu sudah demikian gamblang memperlihatkan karakteristik sesungguhnya pengobatan Dunia Barat yang artinya “racun”.

Kata racun segera mengingatkan kami pada sosok Ivan Illich dan bukunya “Batas-Batas Pengobatan—Perampasan Hak Untuk Sehat”. Menurut Illich, saat ini sesungguhnya telah terjadi fenomena “imperialisme diagnostik”. Ini menyebabkan terciptanya ketergantungan masyarakat modern terhadap rezim industri kesehatan sebagai implikasi dominasi struktur kapitalisme. Lebih dari itu, sesungguhnya juga bermuara pada munculnya epidemi “iatrogenesis”, yaitu sebuah penyakit baru yang muncul dari profesi dokter itu sendiri (per se), baik bersifat klinis, sosial maupun kultural.

Pada titik ini, bukankah bukan tak mungkin wacana rokok yang dipropagandakan secara brutal oleh rezim industri kesehatan melalui kaki tangan mereka yaitu para dokter itu, sesungguhnya adalah manifestasi dari apa yang ditengarai Ivan Illich sebagai “imperialisme diagnostik”? Terlepas jawabannya “ya” atau “tidak”, yang jelas masyarakat Kasepuhan sejak mula sejatinya sudah terbebas dari dominasi hal itu.

 

Sumber foto: Dasirun

Tinggalkan Balasan