REVIEW

Perjalanan untuk Bangga Menjadi Indonesia

Seolah status sebagai negara Islam tak berlaku pada moralitas penduduknya. Di Islamabad, ia menuturkan betapa sulitnya mendapat kenyamanan dan keamanan. Jauh berbeda dengan orang Indonesia yang begitu ramah pada orang asing.

[dropcap]L[/dropcap]ebih kurang lima bulan lalu saya menemukan buku di antara tumpukan buku-buku lain di toko buku bekas ‘Guru Bangsa’. Perjalanan Asia karya Gola Gong. Dengan gambar sosok pria bertangan satu, lengkap dengan tas ransel, topi, baju jelajah, dan sepeda gunung di sampingnya sebagai sampul depan. Kelak, saya akan tahu bahwa itu adalah gambar penulisnya.

Buku ini menjadi istimewa bagi saya setidaknya karena tiga hal: Pertama, saya mendapatkannya dengan usaha yang tak mudah. Butuh lebih dari satu jam untuk menemukannya di antara tumpukan buku bekas lain. Kedua, sebagai buku yang keren saya mendapatkannya dengan harga yang sangat murah. Hanya 10.000 rupiah saja. Ketiga, karena isi buku ini memang keren. Mampu membuat jiwa saya tergerak untuk melakukan perjalanan keliling Asia, dan mengerti betapa indahnya Indonesia Raya dari cerita perjalanan pribadi penulisnya, yang sesungguhnya penyandang disabilitas.

Alasan terakhir itulah yang membikin saya merasa penting untuk menulis ulasan ini. Mengingat, kian hari para pemuda negeri ini mulai lupa cara membanggakan negerinya sendiri. Budayanya sendiri. Kekayaan alamnya sendiri. Komoditinya sendiri. Selalu merasa inferior di hadapan asing. Astaghfirullah.

Hal ini senada dengan tutur Gola Gong dalam buku ini, bahwa jiwa yang kosong adalah pintu bagi terbukanya ketertundukan terhadap Westernisasi. Yakni modernisasi hanya sebatas yang berwujud kebendaan semata. Bukan jiwa dan moralitas. Sebab itulah pemuda tak boleh kosong jiwanya.

Salah satu cara untuk mengisi kekosongan jiwa, adalah dengan melakukan perjalanan. Sebuah cara yang dilakukan oleh Gola Gong dengan segala keterbatasannya. Baik fisik maupun finansial. Ya, ia melakukan perjalanan ini tanpa modal sepeserpun. Kecuali mengandalkan honor dari tulisannya selama perjalanan yang ia kirimkan ke majalah Anita Cemerlang dan majalah HAI.

Meski begitu, ia tetap sukses menjelajahi banyak negara. Serawak (Malaysia), Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, India, Sri Lanka, hingga Nepal. Banyak hal yang ia temui di negara-negara itu. Mulai dari orang-orang baru dengan pelbagai sifat dan kebiasaan, hingga aneka pemandangan alam yang beragam rupa.

Namun, bukan lantas ia terkesan dengan segala hal yang dilihatnya. Justru ia merasa segala yang dimiliki negerinya, Indonesia, lebih baik. Seperti ketika ia berpendapat soal Angkor Wat di Thailand. Baginya, Borobudur dan Prambanan di Yogyakarta itu dua kali lipat menakjubkannya. Juga soal pemuda-pemudi di Malaysia yang menurutnya kurang keren, karena tak semodis dan sejail pemuda-pemudi sebangsanya. Tak ada pemuda yang bersiul untuk menggoda seorang gadis di Malaysia. Menurut Gola Gong, mereka bersembunyi di balik kepalsuan busana. Berjilbab lebar tapi mojok juga sama pacarnya. Barangkali karena keharusan rezim, tuturnya.

Mungkin ini pula yang bikin dunia penulisan kreatif di Malaysia tak bisa berkembang sepesat di Indonesia, seperti yang diakui Iqbal Aji Daryono di status facebooknya beberapa waktu lalu. Tak banyak bermunculan penulis-penulis dengan ide-ide seliar Tere Liye dengan bukunya yang berjudul ‘Negeri Para Bedebah’. Atau, senakal Agus Mulyadi dengan bukunya ‘Bergumul Dengan Gus Mul‘.

Begitupun kesaksian Gola Gong tentang negara lain yang juga dikunjunginya. Pakistan, menurutnya, adalah negeri sekumpulan penipu. Di mana para penipu bersebaran di mana-mana. Seolah status sebagai negara Islam tak berlaku pada moralitas penduduknya. Di Islamabad, ia menuturkan betapa sulitnya mendapat kenyamanan dan keamanan. Jauh berbeda dengan orang Indonesia yang begitu ramah pada orang asing. Ya, meskipun yang suka menipu juga ada.

Bagi saya sendiri, bagian yang paling menarik dari buku ini, adalah cerita soal Segitiga Emas Asia Tenggara. Sebuah kawasan penghasil emas hitam atau opium atau candu yang berada di kawasan tiga negara, Burma, Laos, dan Thailand. Konon sudah ratusan tahun usianya. Dikendalikan oleh para gerilyawan yang menggantungkan hidup dari berdagang obat-obatan.

Di sini Gola Gong sungguh takjub dan miris atas apa yang dilihatnya. Takjub lantaran barang haram mampu menghidupi banyak orang. Sedangkan miris karena di negerinya, banyak tanaman halal, seperti tembakau dan cengkeh yang justru tak diperhatikan. Bahkan kini dicap sebagai tanaman haram yang harus dibatasi persebarannya. Padahal, keduanya dan tanaman-tanaman lainnya, sudah lebih dari cukup untuk menghidupi segenap rakyat Indonesia.

Khusus tembakau dan cengkeh, yang nantinya bisa diolah menjadi kretek, adalah satu-satunya komoditi yang sekarang masih dari hulu ke hilir diproduksi di dalam negeri. Yang artinya adalah satu-satunya komoditi yang berdikari. Lantas, haruskah itu juga akan jatuh pada monopoli asing, hanya karena bangsa ini merasa tak mampu pada desakan dominasi global? FCTC? WTO?

Bila Gola Gong saja dengan keterbatasannya mampu keliling Asia, maka tak ada alasan bagi bangsa ini untuk menyerah pada muslihat asing. Muslihat yang menempatkan kita, bila kata Mahbub Djunaidi, sebagai inlander gaya baru. Menempatkan kretek sebagai bukan bagian dari keluarga rokok baik-baik.

Begitulah kiranya ulasan saya soal Perjalanan Asia karya Gola Gong. Buku yang kalau dibaca mampu mengisi kekosongan jiwa, dan bangga menjadi Indonesia! MERDEKA!

Tinggalkan Balasan