logo boleh merokok putih 2

NU, Kretek dan Kedaulatan (Islam) Nusantara

Dengan tidak adanya gejolak menyikapi kebiasaan mengonsumsi tembakau tersebut, bahkan cenderung lentur dan terbuka di kalangan para ulama pesantren Nusantara, sejak Walisongo hingga abad 21 ini, semakin membuktikan bahwa budaya (meng)kretek merupakan tradisi yang integral dalam Islam Nusantara.

[dropcap]S[/dropcap]ebagian besar hasil penelitian tentang kretek jarang menghubungkannya dengan dunia santri (NU) dan Islam Nusantara. Sekilas nampak tak berhubungan, dan bahkan terkesan mengada-ada. Sulitnya menemukan benang merahnya karena minimnya penelitian yang mampu merangkai ketiga tema yaitu kretek, NU dan Islam Nusantara menjadi sebuah continuum diskursif.

Padahal rata-rata obyek utama penelitian kretek itu, terutama menyangkut aspek sosiologis-antropologis, adalah masyarakat yang hidup di daerah-daerah basis NU: Kudus, Jember, Madura, Tamanggung, Malang, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa wacana kretek di Indonesia selama ini masih belum menjangkau spektrum sosial-budaya yang lebih luas. Tak jarang malah masih minim perspektif., bahkan rata-rata masih berada dalam bingkai tafsiran sejarah kolonial.

Buku NU Smoking hadir bermaksud memberikan perspektif lain, menyajikan penjelasan relasi antara kretek, NU dan Islam Nusantara. Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, di antaranya sejarah, budaya dan juga antropologi. Salah satu pintu masuknya adalah melacak sejarah dan konteks lahirnya fatwa-fatwa rokok dalam tradisi pesantren dan NU.

Tradisi Nusantara

Dalam penelusuran berbagai sumber, buku ini menemukan embrio munculnya tradisi kretek sudah sejak zaman Walisongo dan bukan pada zaman kolonial. Ini dibuktikan dari adanya sejumlah foklore yang berbicara tentang tembakau. Salah satunya foklore atau legenda kisah “persetruan” Sunan Kudus dan Sunan Kedu. Perseteruan ini dimenangkan oleh Sunan Kudus sehingga Sunan Kedu akhirnya menjadi muridnya. Saat hendak pulang ke kampungnya, Kedu (Temanggung dan sekitarnya), Sunan Kedu dihadiahi Sunan Kudus tanaman tembakau. Kisah inilah yang kemudian menghubungkan tafsiran sejarah lisan tentang Temanggung sebagai daerah penghasil tembakau dan Kudus sebagai daerah pengolah tembakau.

Tanah Madura, tak ketinggalan. Legenda ini mengisahkan tentang seorang tokoh bernama Pangeran Katandur. Istilah katandur sendiri artinya menanam. Nama ini diberikan kepada Habib Ahmad Baidlowi. Sosok inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya tanaman tembakau di Madura. Menurut shohibul hikayat, Pangeran Katandur hidup di Sumenep abad ke-12. Dari legenda ini tersirat bahwa tembakau telah ahdir di Madura jauh sebelum kaum kolonial menginjakkan kakinya di bumi Nusantara.

Selain itu, juga ada beberapa istilah yang beragam di Nusantara untuk menyebut tembakau. Misalanya Sata, digunakan masyarakat Jawa bagian tengah untuk menyebut tembakau. Istilah ini sudah terlebih dahulu eksis sebelum munculnya istilah “tembakau”, yang konon diambil dari bahasa Eropa, tobacco.

Dari legenda-legenda inilah tradisi mengkretek di Nusantara terlihat sudah berumur panjang. Hanya saja pola dan bentuk meng-kretek saat itu tentu berbeda dengan saat ini. Atas dasar legenda yang hadir dalam ruang sejarah masyarakat itu, tak berlebihan sekiranya disimpulkan bahwa (meng)-kretek termasuk salah satu unsur tradisi yang integral dalam khazanah budaya Nusantara sejak dulu. Tradisi ini bukan hanya berbentuk praktek-praktek hiburan dan ritual tetapi juga sebagai basis pembangunan kedaulatan ekonomi masyarakat.

Kedaulatan Islam Nusantara

Tradisi keIslaman model Walisongo, termasuk soal hukum memaknai entitas tembakau, terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh ulama-ulama Nusantara hingga lahirnya NU di tahun 1926. Bagaimana hubungan tradisi mengkretek dan ulama-ulama NU terlihat pada lahirnya karya-karya intelekual para ulama Nusantara yang membahas wacana kretek.

Generasi ulama pesantren paska Walisongo, sebutlah nama KH. Ahmad Dahlan, seorang kyai dari Semarang. Kita catat beliau mengarang dua kitab kuning yaitu Tadzkiratul Ikhwan Li Bayani Syurbil Qahwah Wad Dukhan (Peringatan kepada Saudara, Penjelasan Meminum Kopi dan Rokok) dan Nazhatul Ifham fi Ma Ya’tarid Dukhan minal Ahkam (Kilasan Pemahaman tentang Hukum-hukum Seputar Rokok). Diskursus ini kemudian diteruskan oleh muridnya, KH. Ihsan Jampes yang mengarang kitab Irsyadul Ikhwan Li Syurbil Qohwah Wad Dukhon (Petunjuk kepada Saudara, Penjelasan Hukum Meminum Kopi dan Rokok). Kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama Nusantara tersebut memberikan informasi tentang hukum kretek dan kopi yang notabene bersifat mubah (boleh).

Hingga sampailah pada era NU. Para ulama NU tak pernah mempersoalkan lagi hukum rokok (kretek). Bagi ulama NU meng-kretek sudah menjadi tradisi berabad-abad dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Karena memang sudah menjadi tradisi yang begitu melekat, maka kretek dan praktek mengkretek di kalangan NU jarang dibahas secara khusus dalam forum-forum diskusi NU. Sejak kelahirannya di tahun 1926, pembahasan rokok (kretek) di kalangan NU yang paling terkenal baru terjadi tiga kali, itu pun sifatnya tidak secara khusus membahas rokok, tetapi lebih dilatarbelakangi oleh kasus lain.

Tahun 1927, dalam Muktamar NU ke-2, para kyai membahas rokok (kretek) sebagai analogi dari hukumnya menyulut petasan. Jadi persoalan yang diajukan oleh salah seorang warga sebenarnya adalah soal petasan, tetapi jawabannya dianalogikan kepada hukum rokok: menyulut petasan itu hukumnya mubah sebagaimana hukumnya rokok.

Selanjutnya tahun 1990-an ketika ada forum Bahtsul Masail di Kudus, muncul pertanyaan soal bagaimana hukumnya merokok? Mendengar itu, seorang kiai kharismatik yang terkenal alimnya, KH. Turaichan Adjuhri (Mbah Tur) langsung meminta rokok kreteknya, menyulut dan menghisapnya, kemudian berkata: “ ya udah, sekarang silakan dibahas”! Di sela-sela pembahasan ada seseorang anggota Bahtsul Masail yang juga seorang kiai, bertutur bahwa dirinya kalau tidak merokok pikirannya malah mandek dan tak bisa mengajar. Untuk yang mempunyai keluhan seperti ini, Mbah Tur justru memberi tafsiran hukum merokok itu “wajib”.

Kemudian tahun 2010, forum Bahtsul Masail kembali membahas rokok/kretek. Secara formal acara ini dilakukan bukan atas nama NU. Tetapi pelaksana dan seluruh anggota forum itu adalah para kiai pesantren NU. Forum Bahtsul Masail digelar dalam rangka merespon fatwa MUI yang menghukumi rokok itu haram. Fatwa MUI ini dicetuskan di Padang Panjang pada 2009. Sebagai upaya meng-counter fatwa MUI, forum Bahtsul Masail para kiai NU di Surabaya tersebut, sekali lagi memutuskan bahwa merokok itu hukumnya boleh (mubah).

Sejarah keputusan fatwa rokok NU menunjukkan konsistensi tafsiran para ulama Nusantara tentang hukum merokok sebagai sesuatu yang boleh-boleh saja. Berbeda dengan tafsiran hukum Islam di Timur Tengah, misalnya pada era Kekhalifaan Sultan Turki (Raja Murad I) yang mengeluarkan larangan keras terhadap pemakaian tembakau sebagai hukumnya haram.

Dengan tidak adanya gejolak menyikapi kebiasaan mengonsumsi tembakau tersebut, bahkan cenderung lentur dan terbuka di kalangan para ulama pesantren Nusantara, sejak Walisongo hingga abad 21 ini, semakin membuktikan bahwa budaya (meng)kretek merupakan tradisi yang integral dalam Islam Nusantara. Bahkan, dan ini yang lebih penting, tradisi tembakau ini dulu telah menjadi basis kedaulatan ekonomi kaum santri dan ulama Nusantara. Dari sinilah terbukti bahwa kretek dan tembakau bukan hanya warisan budaya masyarakat Nusantara yang turun temurun, tetapi juga basis kedaulatan ekonomi kaum santri (NU)-santara.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Muhibuddin

Muhibuddin

Penulis, tinggal di Jogja Selatan