PERTANIAN

Memeluk Agama atau Dipeluk Agama

Bagaimana kehidupan keberagamaan anda, memeluk agama atau dipeluk agama?

Clifford Geertz (1982), memiliki kata kunci menarik yang dapat dipinjam sebagai bahan refleksi memaknai perilaku keberagamaan kita. Sebagai hasil pengamatan mendalamnya terhadap budaya masyarakat Islam di Indonesia dan Maroko, Geertz mengenalkan istilah “memeluk agama” (religious mindedness) dan “dipeluk agama” (religiousness).

Sikap memeluk agama ditandai dengan keberhasilan seseorang mengambil jarak dari agama sebagai sistem keyakinannya. Di sini orang yang memiliki sikap memeluk jelas sudah tak lagi tenggelam dalam samudra prasangka sistem doktrinernya. Malah seringkali ia nampak kritis dan reflektif mempertanyakan kembali berbagai dogma dan postulasi agamanya sendiri, yang selama ini kebenarannya telah diterimanya secara apriori. Baginya doktrin agama bukanlah harga mati dan terbuka luas untuk dikritisi.

Sikap ini muncul dari kepercayaan pada akal budi atau rasio sebagai sarana penting dan menentukan perjalanan kesadaran manusia memahami agamanya secara benar. Melalui akal budi atau rasio inilah semua ajaran agama dikritisi, direfleksi dan direkontekstualisasi nilai-nilai dan maknanya sehingga relevan menjawab problem dan tantangan situasi zaman.

Agama dan kitab suci diciptakan bagi umat manusia dan bukan sebaliknya. Dengan demikian sikap keberagamaan baginya adalah proses individuasi sekaligus penemuan diri yang sangat personal dan otentik, sebagai buah pergulatan dirinya sendiri mencari makna kebenaran.

Sikap dipeluk agama justru sebaliknya. Pada aras ini orang cenderung membiarkan seluruh ruang kemanusiaannya larut dan luruh oleh setiap postulat dan doktrin agamanya tanpa menyisakan ruang kesangsian. Sikap dipeluk umumnya mendasarkan diri pada motivasi pelaksanaan agama demi menghindari hukuman Tuhan. Formulasi populernya ialah seputar pahala dan dosa, surga dan neraka.

Baginya kitab suci bukan saja dianggap sebagai kebenaran absolut par excellence, melainkan lebih jauh juga memiliki pengertian mutlak, punya pesan makna yang lugas, dan, lebih dari itu, tak pernah berubah sedari mula diturunkan. Karena itu aspek diakronis kitab suci, yaitu latar belakang sejarah dan mediasi kebudayaan beserta berbagai kemungkinan tafsiran simbolik, cenderung dikesampingkan. Akhirnya apapun yang tertulis dalam kitab suci harus dilaksanakan secara utuh tanpa reserve.

Sikap di atas tak terlepas dari pandangan pesimistik terhadap potensi akal budi manusia. Upaya manusia memahami kitab suci seturut akal budinya niscaya sia-sia belaka. Atau malah bisa jadi dianggap sebagai ancaman bagi kemurnian dan otentisitas praktik agama. Ini tentu tak terlepas dari asumsi mereka, bahwa karakteristik akal budi manusia itu bersifat profan dan partikular. Juga notabene terkungkung batasan ruang dan waktu yang nisbi atau relativistik. Karena itu akal budi atau rasio bisa dipastikan gagal mengemban tugas memahami dan menjangkau kebenaran mutlak.

Tak aneh lazimnya kelompok dipeluk ini, cenderung menolak tradisi hermeneutika atau interpretasi terhadap kitab suci. Model tafsiran mereka adalah anti-tafsir, yakni dogmatis, tekstual atau leterlek, atau skripturalistik.

Pada titik ini ada buku yang menarik disimak. Isi buku ini sanggup jadi pemantik permenungan tentang pandangan keagamaan secara mendalam. Tak hanya reflektif melampaui sekat-sekat pandangan hitam-putih, tapi juga menawarkan kontemplasi tentang makna Ketuhanan dan kemanusiaan dari berbagai sudut pandang yang tak terduga.Burung Berkicau” demikianlah judul buku yang disusun rohaniawan Anthony de Mello SJ.

Apa yang mengemuka buku ini berisi kumpulan narasi folklore tentang kisah hikmah atau kebijaksanaan yang diambil dari berbagai tradisi agama-agama manusia: Hindu, Zen-Budha, Yahudi, Kristen, Islam (Sufi), dsbnya. Kisah hikmah ini boleh dikata berangkat dari titik perspektif filosofi perenialisme dan mistisisme yang tidak saja mendudukkan semua agama pada derajat yang sama, namum juga melihat semua agama membawa tujuan hakiki yang sama persis. Sementara perbedaan agama-agama manusia sebenarnya hanya ada pada kemasan bahasa dan kebudayaan, dan senyatanya jika mau jujur lebih bersemayam dalam kebodohan dan kepicikan ego manusia itu sendiri untuk memahami substansi agama lain secara apa adanya.

Ada seratus duapuluh dua folklore atau kisah hikmah yang berhasil dihimpunnya. Ditulis dengan gaya tuturan menarik dan enak dibaca, nampak fokus de Mello adalah membantu seseorang mendapat pencerahan dan menemukan Tuhannya secara personal dan otentik. Ya, masing-masing kita tentu harus menguyah-uyah sendiri pahit getirnya seluruh pengertian dan pemahaman kita tentang Tuhan. Bukan hal mudah, memang. Barangkali kadang juga terasa menyakitkan menyadari dogma yang awalnya kita yakini sebagai kebenaran absolut (per se), ternyata masih berupa sekeping kebenaran belaka.

Meski disusun oleh seorang rohaniawan Katholik, namun jangan berburuk sangka dan menduga isinya membawa pesan-pesan tersembunyi tentang agenda misionaris. Malah sebaliknya, buku ini pernah mendapat kritik pedas dari pihak Vatikan. Kardinal Ratzinger yang nantinya dinobatkan sebagai Paus Benediktus itu, atas nama Kongregasi pada tahun 1998 menyimpulkan bahwa karya Anthony de Mello telah bergeser jauh dari isi dasar ajaran iman Kristiani dan sangat membahayakan umat.

Menekuri buku ini setidaknya minimal memperjelas posisi keberagamaan anda: memeluk atau dipeluk.

Tinggalkan Balasan