logo boleh merokok putih 2

Membaca Sabda Raja

Sabdaraja. Kamis (30/4/2015) bertempat di Siti Hinggil Kraton, Sultan mengucapkan Sabdaraja. Ini titah ketiga sejak Bendara Raden Mas Herjuno Darpito dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwana X dengan gelar resmi “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat”. Sebelum ini, Sabdatama pernah dititahkan sebanyak dua kali, yang pertama pada 10 Mei 2012 dan yang kedua pada 6 Maret 2015.

Saat menitahkan sabda, Sultan mengenakan busana kebesaran secara lengkap didampingi permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan putri-putrinya. Acara ini hanya dikhususkan bagi keluarga dan abdi dalem kraton namun tertutup bagi awak media. Akan tetapi adik-adik Sultan, tak terlihat hadir. Terkesan ada kegentingan.

Merujuk pemberitaan media, Sabda Raja berisi lima hal. Pertama, penyebutan ‘Buwono’ diganti menjadi ‘Bawono’. Kedua, gelar Khalifatullah seperti yang tertulis lengkap dalam gelar Sultan dihilangkan. Ketiga, penyebutan Kaping Sedasa diganti Kaping Sepuluh. Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.

GBPH Yudhaningrat bersuara keras menanggapi. Menurutnya, isi Sabdaraja telah menabrak tatanan adat yang pokok, yang sudah berlaku turun-temurun sehingga tidak bisa sembarangan diubah begitu saja. Penolakan secara simbolik terlihat ketika keempat adik Sultan yang terdiri dari GBPH Yudhaningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Prabukusumo dan GBPH Condrodiningrat berziarah ke makam Ki Ageng Pemanahan dengan tujuan meminta maaf kepada pendiri Kerajaan Mataram itu terkait substansi isi Sabdaraja.

Tidak aneh banyak orang menduga, titah Sinuhun berkorelasi dengan proses suksesi kekuasaan ke depan. Interpretasi ini setidaknya dikaitkan dengan dua hal, yaitu niat Sinuhun menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun serta keputusan beliau menanggalkan atribut Khalifatullah.

Keris pertama adalah simbol Sultan selaku seorang pemimpin spiritual dan pemerintahan. Pusaka berdapur Jalak Sangu Tumpeng ini menduduki salah satu tempat terhormat di Keraton Yogyakarta karena disebutkan Sri Susuhunan Paku Buwono III memberikan keris ini kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono I. Sedangkan keris kedua, mulai mendapat perhatian publik luas sejak pusaka ini setidaknya menjadi simbol suksesi dari Sinuhun HB VIII ke Sinuhun HB IX. Makna menyempurnakan kedua pusaka utama dan penting bagi Kraton Yogyakarta tersebut jadi mudah ditafsirkan, bahwa hal itu secara simbolik berarti proses penyempurnaan mekanisme suksesi kekuasaan.

Sementara gelar Khalifatullah jelas memprasyaratkan (sine qua non), bahwa dalam konteks tradisi Islam seorang pemimpin haruslah laki-laki. Problemnya, kita semua tahu, Sultan tak berputra laki-laki yang bisa didudukkan sekaligus dinobatkan sebagai Pangeran Pati. Dengan keputusan Sinuhun menanggalkan atribut Khalifatullah dalam gelar resmi raja, maka implikasinya seorang raja—yang dalam terminologi Jawa disebut “Ratu”—tidak harus seorang laki-laki. Ini dengan sendirinya membuka peluang bagi putri sulung menggantikan posisi Sultan nanti. Bahkan kini beredar info, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun sudah beroleh gelar baru dan berubah nama menjadi “Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram”.

Bagaimana akhir kisah ontran-ontran ini? Bagaimana sikap adik-adik Sultan nanti, apakah ketegangan akan semakin menajam ataukah masih mungkin dibangun sebuah konsensus baru antar keluarga? Akankah lahir matahari kembar sebagaimana kasus Kraton Surakarta? Apakah motivasi Sultan, sekadar berpamrih status quo ataukah justru sebuah upaya membangun terobosan baru? Jawabannya, wait and see.

Terlepas akhir kisahnya nanti, pada tilikan perspektif lain yaitu kacamata sejarah, apa yang dilakukan Sultan dengan Sabdaraja-nya sebenarnya patut kita lihat secara jernih dalam lanskap yang lebih luas. Suka atau tidak, apa yang dilakukan Sultan adalah bentuk upaya pemaknaan ulang baik secara ekonomi-politik maupun kebudayaan atas posisi kota Gudeg dalam konfigurasi nasional maupun global.

Secara strategi politik kebudayaan, apa yang dikembangkan Sabdaraja adalah memperbarui hubungan dinamik budaya Islam dan Jawa yang notabene merupakan tanah lapang bekerjanya kekuasaan sistem Kasultanan. Salah satu poin penting Sabdaraja adalah justru melepas atribut Khalifahtullah, yang secara politik berarti memfasilitasi kemungkinan munculnya seorang raja perempuan.

Terlepas ada atau tidaknya kepentingan mempertahankan status quo nyelip dalam relung batin Sultan, munculnya raja perempuan tentu sebuah terobosan tersendiri. Baik itu secara sosio-politik maupun secara sosio-historis bagi jalannya kesejarahan Mataram-Islam ke depan. Pasalnya sejak Panembahan Senapati membabat hutan Mentaok di Kotagede hingga kini, tak sekalipun seorang perempuan pernah naik tahta. Padahal jika didedah ke belakang, sejarah justru pernah mencatat keberadaan Ratu Shima pada zaman Kalingga abad ke-6 atau Tribuwana Tunggadewi—atau lebih dikenal Ratu Kencana Wungu—pada zaman Majapahit abad ke-14, sebagai sosok raja perempuan yang terkenal ampuh menjalankan roda pemerintahan di tanah Jawa.

Benar, bahwa ide raja perempuan tentu kontroversial dan memicu perdebatan pro-kontra, atau jika kurang bijak mengelola perbedaan sangat mungkin bahkan memantik perpecahan keluarga. Namun demikian andai kita mau jujur melihat, pembaharuan yang dilakukan Sinuhun melalui Sabdaraja toh sebenarnya hanya terinspirasi oleh masa lalu dan sejarah kebesaran para leluhurnya sendiri, meski tentu saja bukanlah leluhur para pendiri wangsa Mataram-Islam. Apa yang menarik dilihat, ide-ide dari masa lalu yang antah berantah yaitu Kalingga dan Majapahit itu, naga-naganya justru memiliki spirit mengantisipasi masa depan dan sekaligus menyongsong arus perubahan zaman daripada sekadar berhenti pada kejumudan sebuah adat istiadat dan tradisi.

Dalam Sabdaraja tidak saja tersimpan simpul kebesaran sejarah masa lalu nusantara, melainkan juga ide-ide progresif tentang emansipasi perempuan, yang dalam praktik kehidupan masa lalu sesungguhnya bukanlah hal asing dan baru, bahkan ketika peradaban Barat masih tenggelam dalam abad kegelapan dan belum mengenal ide tersebut.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Waskito Giri

Waskito Giri

Penulis, pemilih Jokowi, dan meyakini Nusantara sebagai asal-usul peradaban dunia. Kolektor keris.