logo boleh merokok putih 2

Mc Donalds dan Ritus Makan

[dropcap custom_class=”normal”]M[/dropcap]

enjamurnya gerai-gerai McDonald’s di berbagai kota besar konon adalah penanda kemajuan. Gerainya selalu berada di titik-titik strategis ruang kota dan didesain dengan dinding kaca untuk menunjukkan aktivitas didalamnya. Melalui gerai-gerai tersebut McDonald’s menyesakkan visualisasi konsumerisme di ruang-ruang publik dengan sengaja.

Makan tak hanya soal menghilangkang rasa lapar, melainkan juga telah disulap menjadi tontonan tentang citra gaya hidup masyarakat urban. McDonald’s menciptakan tren restoran cepat saji dan gaya hidup baru di kalangan masyarakat perkotaan secara global. Suka atau tidak suka, McDonald’s atau McD berhasil mendudukkan diri sebagai salah satu ikon representasi peradaban modern. The American Dream!

Berawal dari sebuah restoran kecil yang menjual hamburger di San Berbadino dan dilanjutkan sentuhan inovatif seorang Ray Krock, McD berhasil memodernisasi dan merasionalisasi restoran kecil itu. McD berkembang menjadi raksasa bisnis makanan global. Di seluruh dunia setidaknya ada 35.000 gerai McD yang setiap harinya melayani sekitar 68 juta mulut manusia dari 119 negara. Di Indonesia sendiri McD hadir pada 1991 dan merupakan negara ke 70 yang menjadi tempat dagang McD. Sarinah Mall adalah gerai pertama. Kini 2013 tercatat ada 112 gerai yang tersebar di 24 kota, memperkejakan 6000 karyawan, dan naga-naganya akan terus bertambah setiap tahunnya.

Pada 2012, perusahaan ini memiliki pendapatan tahunan sekitar 27,5 trilyun dan berhasil membukukan keuntungan sebesar 5,5 trilyun. Sementara menurut laporan BBC 2012, McD adalah perusahaan swasta terbesar kedua setelah jaringan supermarket Walmart, yang memperkejakan sekitar 1,5 juta orang.

Apa yang menarik disimak dari keberhasilan perusahaan ini adalah, bagaimana McD berhasil membangun sistem waralaba dan panduan sebagai sistem operasionalnya. McD sanggup memberikan kepastian bahwa semua produk yang disajikan adalah sama, di manapun dan kapanpun. Pameo tradisional “resep yang sama di tangan orang berbeda hasilnya adalah berbeda” terang tak berlaku. McD mampu menerapkan prosedur operasi standar dengan spesifikasi yang sangat ketat dan termekanisasi. Untuk mendukung hal itu, McD meluncurkan program pelatihan yang dinamakan “Hamburger University,” bertempat di ruang bawah restoran McD di Elk Grove Village, Illinois. Di Hamburger University inilah para operator dari berbagai belahan dunia dididik menjalankan restoran dengan prinsip-prinsip yang seragam: ada menu standar, porsi yang sama dengan harga yang sama serta kualitas yang sama di setiap gerai-gerainya.

Selain itu, yang terpenting dicermati juga strategi ‘glokalisasi’ McDonald’s di berbagai belahan dunia. McD terkenal piawai menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungan kultural di mana dia berada, sebagai bagian penting strategi pemasaran produknya. Pada kasus di Indonesia misalnya, McD mengadopsi kebiasaan masyarakat makan nasi, sesuatu yang tidak mungkin kita temui pada gerai McD di Amerika Serikat. Sementara di India, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, contoh lainnya McD juga menyediakan jenis burger vegetarian dan burger daging yang bukan berasal dari sapi.

Karena sukses besar ini, beberapa perusahaan cepat saji segera meniru model bisnis Mcdonald’s. Sebutlah beberapa di antaranya seperti Kentucky, Burger King, AW, Texas, dan masih banyak lainnya. Demikianlah secara global muncul fenomena Mcdonaldisasi.

Fenomena ini memantik sosiolog George Ritzer menulis The McDonaldization of Society (1993). Mengikuti perspektif sosiologi klasik-nya Max Weber, Ritzer melihat modernitas sebagai terjadinya peningkatan rasionalitas formal masyarakat, di mana fenomema itu disebutnya dengan istilah “McDonaldisasi masyarakat.” Ritzer menggunakan istilah McDonaldisasi untuk menunjukkan suatu proses di mana prinsip-prinsip restoran cepat saji itu kini mulai merasuki dan bahkan mendominasi berbagai sektor kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Mulai dari bisnis restoran, agama, seks, pendidikan, dunia kerja, jurnalisme, biro periklanan, politik, agama, program diet, keluarga dan sebagainya.

Namun peningkatan rasionalitas masyarakat, kritik Ritzer, sebenarnya juga memunculkan irasionalitasnya sendiri secara bersamaan. Sistem rasionalitas formal yang berdiri di atas fondasi prinsip ‘efisiensi’, ‘keterukuran’, ‘keterprediksian’ dan ‘kontrol’ a-la McDonaldisasi itu, ternyata menimbulkan berbagai bentuk ketidakrasionalannya. Ini terutama disebabkan terjadinya pergeseran kontrol oleh manusia menjadi kontrol oleh teknologi dalam skema kerja pabrikasi dan produk massal.

Problemnya kemudian bukan hanya terjadi proses dehumanisasi karena kontrol proses kerja oleh manusia digantikan oleh teknologi sehingga jadi serba mekanik, melainkan lebih dari itu. Aspek kuantitatif sebagai makna keterukuran-rasional pun menjadi lebih mengemuka ketimbang aspek kualitatif. Ini terlihat bagaimana keahlian seorang koki, dalam bisnis makanan cepat saji bukanlah hal penting, mengingat posisi dan peran itu secara teknis dan mekanis telah digantikan oleh sistem panduan kerja berbasis piranti teknologi.

Ritus Makan

Sayang George Ritzer sekadar memotret fenomena hilir. Ya, bagaimanapun seluruh jaringan bisnis dari perusahaan makanan cepat saji hanyalah fenomena industri hilir, konsep McDonaldisasi-nya Ritzer belum menyingkap fenomena industri hulunya. Pada titik ini andai kita mau menyimak film dokumenter Food Inc, pasti mata kita segera terbelalak ngeri. Apa pasal?

Film Food Inc diproduksi tahun 2008, digarap oleh sutradara pemenang Emmy Award, Robert Kenner. Film dokumenter ini didasarkan pada laporan investigasi Eric Schllosser, penulis buku “Fast Food Nation”. Film ini terbagi dalam enam segmen, di mana Michael Pollan dan Eric Schlosser adalah naratornya.

Film itu menceritakan bahwa, sejalan pesatnya pertumbuhan industri makanan cepat saji, McD adalah pembeli terbesar untuk ayam, babi, sapi, kentang, tomat, dan apel. Kebutuhan ini membuka peluang bagi perusahaan penyedia daging. Terjadilah pertumbuhan industrinya secara signifikan. Pada tahun 1970 lima perusahaan daging sapi kemasan, mengontrol 25% dari pasar keseluruhan. Namun kini tercatat hanya empat perusahaan besar mengontrol 80% dari pasar keseluruhan!

Apa yang penting kita catat di sini, bukan hanya dominasi pasar yang berubah, namun metode peternakan dan industri pengolahan daging juga telah mengalami perubahan yang luar biasa. Mari kita simak. Jika pada 1950 masih dibutuhkan 70 hari untuk mengembangkan ayam sehingga siap potong, maka pada 2008 tinggal butuh (rata-rata) 48 hari saja. Ayam diternakkan secara instan dengan suntikan hormonal dan antibiotik serta rekayasa pakan, tanpa ayam itu pernah terkenai sinar matahari. Tak hanya itu, industri juga berhasil mendesain ulang tubuh ayam dengan rekayasa biogenetika, sehingga menghasilkan daging yang lebih besar dibandingkan dengan ayam yang tumbuh secara alami.

Hal yang sama pun terjadi pada industri pembesaran dan pengolahan sapi dan babi. Juga pada budidaya buah dan sayur-mayur atau berbagai komoditas agrobisnis secara umum.

Nilai ekonomis yang besar membuat kuantitas produksi menjadi prioritas ketimbang aspek kualitatif. Tak peduli apakah makanan yang dihasilkan layak makan atau tidak, tak peduli apakah proses produksinya “bermoral”–sebutlah “berperikehewanan”–atau tidak. Mudah diduga, motivasi utama di balik semua itu adalah semata akumulasi keuntungan sebesar-besarnya dan tak lain.

Menyimak Food Inc, tak berlebihan sekiranya banyak produk industri makanan cepat saji kemudian dikategorikan oleh publik Barat sendiri ke dalam kualifikasi “makanan sampah.” Tak kecuali McDonald’s. Makanan cepat saji naga-naganya justru sinonim arti sebagai makanan sampah.

Dikatakan makanan sampah karena kualitas produknya sebenarnya tak layak dikonsumsi species manusia. Baik itu terkait kandungan nutrisinya yang disinyalir malah menyebabkan munculnya berbagai penyakit seperti obesitas dan gula atau bahkan kanker, maupun karena cara-cara pengolahannya secara pabrikasi yang bahkan sejak sedari masih pada tahap penyediaan pasokan bahannya di hulu seperti tergambar pada film Food Inc.

Ya, makan memang bukan hanya fenomena biologis belaka. Makan juga merupakan sebuah ritus, sebuah wujud syukur manusia. Budaya manusia tak hanya memilah mana yang boleh dan yang tak boleh dimakan, tapi lebih dari itu. Budaya manusia juga merumuskan tatakrama dan nilai-nilai etis tentang bagaimana manusia harus memperlakukan binatang ketika hendak diolah dan disajikannya menjadi makanan. Dan McDonald’s, merujuk film Food Inc, jelas bukanlah sebuah representasi dan ekspresi kebudayaan manusia. Lalu apa? Entah.

Pada 2012 sebuah asosiasi masyarakat sipil yang bernama “Change for Life” menolak keterlibatan McDonald’s sebagai salah satu sponsorsip penyelenggaraan Olimpiade di Inggris, hal yang secara sinambung setiap tahunnya sudah dilakukan perusahaan waralaba itu sejak 1976. Penolakan masyarakat Barat kali ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang ditulis George Ritzer waktu itu, di mana masyarakat menolak pembongkaran gerai pertama McDonald’s Ray Kroc di Amerika karena bangunan kuno itu dianggap sebagai artefak sejarah kontemporer yang penting.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Waskito Giri

Waskito Giri

Penulis, pemilih Jokowi, dan meyakini Nusantara sebagai asal-usul peradaban dunia. Kolektor keris.