CUKAI

Mandor Klungsu

Konon, sedikit atau banyak pidato Sosrokartono tersebut memiliki peranan mendorong munculnya kebijakan Politik Etis di Indonesia memasuki awal abad ke-20.

mandor-klungsu

[dropcap]D[/dropcap]emikianlah petitah-petitih (quotes) bahasa Jawa tertera di batu nisan Raden Mas Panji Sosrokartono. Dari kutipan di atas nampak kecintaannya terhadap budaya Jawa tidak luntur sekalipun dia sudah lama melalang buana dan tinggal di Eropa dengan segala gemerlap kemajuannya. Eropa sebagai pusat peradaban waktu itu.

E mooie Sos atau Sos yang ganteng, begitulah Sosrokartono dipanggil semasa tinggal di sana. Tak tanggung-tanggung, Sosrokartono tinggal di Eropa selama 27 tahun. Sumber lain mengatakan, 29 tahun. Ada panggilan lain, De Javanese Prins atau Pangeran dari Tanah Jawa. Cakap berbahasa asing dan luwes bergaul menyebabkan Sosrokartono mudah diterima di lingkungan atas masyarakat Eropa. Baik itu kalangan bangsawan maupun terpelajar. Bahkan, konon sewaktu tinggal di Wina terkenal dengan julukan si jenius dari Timur.

Ya, menyimak perjalanan hidup Sosrokartono, orang tentu terheran-heran melihat kakak kandung R.A Kartini tak pernah menulis buah pikir permenungan dan gagasan-gagasannya, misalnya halnya Tan Malaka dengan Madilog-nya. Melihat capaian reputasi karir internasionalnya jelas dia memiliki kapasitas itu. Bahkan, bisa jadi lebih. Akan tetapi, sayangnya Sosrokartono tak pernah meninggalkan tulisan berupa buku sebagai buah penanya secara utuh.

Sosrokartono lahir pada 10 April 1877 di Mayong (Jepara), anak ketiga dari delapan saudara, putra pasangan R.M. Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara) dan Mas Ajeng Ngasirah. Setelah menamatkan pendidikan di H.B.S. Semarang pada 1897, Sosrokartono melanjutkan pendidikan tinggi ke Belanda. Menurut Harry A. Poeze (2008), Sosrokartono adalah orang pertama dan generasi pertama dalam rombongan orang Indonesia yang datang ke negeri Belanda untuk belajar.

Jadi, boleh dikata dia adalah seorang perintis. Perannya sebagai perintis terlihat dari keterlibatannya mendirikan organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, Indische Vereniging atau Perhimpunan Hindia, yang adalah cikal bakal dari Perhimpunan Indonesia (PI). Awalnya Sosrokartono sekolah politeknik di Delft, tapi itu tak berlangsung lama. Di tengah jalan, mogol. Kemudian dia mengubah jurusannya mempelajari bahasa-bahasa Timur di Universitas Leiden, dan lulus dengan gelar doktorandus. Lebih jauh, menurut Poeze, di Leiden Sosrokartono termasuk mahasiswa cemerlang. Dia hanya butuh waktu relatif singkat berhasil menguasai lebih dari duapuluh bahasa Timur dan Barat.

Sementara Dieka Wahyudha Mardheni (2012) menyebutkan beberapa literatur yang menyinggung kemampuan bahasa asingnya. Siti Soemandari dalam buku “Kartini Sebuah Biografi”, menyebut Sosrokartono menguasai 17 bahasa asing. Solichin Salam dalam buku biografi berjudul “R.M.P Sosrokartono”, menambahkan catatan penguasaannya terhadap sepuluh bahasa daerah di tanah air. Ya, Sosrokartono fasih bercakap dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, dan juga Latin. Bahkan, ditambahkan oleh Muhammad Hatta dalam bukunya Memoir, “Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol”. Karena kecakapan penguasaan banyak bahasa itulah nantinya menunjang perjalanan karir Sosrokartono di Eropa.

[blockquote author=”” ]Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Trimah mawi pasrah Suwung pamrih tebih ajrih. Langgeng tan ana susah tan ana bungah. Anteng manteng sugeng jeneng.[/blockquote]

Selain itu, sewaktu sekolah di Leiden dia juga sempat berkenalan dengan guru besar yang berwibawa, Prof. Johan Hendrik Kern, yang nantinya banyak turut berperan dalam perjalanan kehidupan Sosrokartono. Kern mencalonkan Sosrokartono menjadi anggota Koninklijk Instiuut voor Taal, Landen Volkenkunde (KITLV), suatu Lembaga Kerajaan untuk urusan bidang Bahasa, Geografi dan Etnografi. Kern juga lah yang berusaha agar Sosrokartono dapat diundang untuk memberikan ceramah dalam kongres tahunan Algemeen Nederlandsch Verbond (ANV), Vereeniging tot handhaving en verbreiding van de Nederlandsche taal (Perserikataan Umum Belanda, Perhimpunan untuk Membina dan Menyebarkan Bahasa Belanda).

Penampilan perdana Sosrokartono di forum internasional terjadi pada 1899, yaitu pada acara Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Belanda. Dalam orasinya Sosrokartono meminta pemerintah Belanda memberikan pengajaran bahasa Belanda kepada rakyat Hindia sebagai pembuka gerbang pengetahuan. Konon, sedikit atau banyak pidato Sosrokartono tersebut memiliki peranan mendorong munculnya kebijakan Politik Etis di Indonesia memasuki awal abad ke-20.

Apa yang penting dicatat dari karir Sosrokartono adalah profesi jurnalisnya. Bahkan, boleh dikata Sosrokartono adalah orang Indonesia pertama yang menjadi “wartawan perang”. Dia melakukan liputan Perang Dunia I untuk koran The New York Herald, cikal bakal The New York Herald Tribune. Agar mendapat akses dan bisa lebih leluasa meliput perang, dia menerima pangkat mayor dari militer Sekutu. Capaian jurnalistik yang membuat karirnya terlihat moncer di Eropa ialah keberhasilan Sosrokartono meliput hasil perjanjian rahasia antara pihak tentara Jerman yang kalah dan pihak tentara Prancis yang menang perang.

Mohammad Hatta menyebutkan, sebagai jurnalis Sosrokartono memiliki gaji sebesar 1250 dolar AS perbulan. Dengan gaji sebanyak itu Sosrokartono terang bisa saja hidup sebagai seorang yang kaya di Eropa. Namun ironisnya dengan gaji sebesar itu Sosrokartono masih saja terjerat hutang sangat besar selama tinggal di Eropa. Konon, besarnya hutang itu menjadi satu alasan mengapa dia lama enggak pulang ke tanah air, sekalipun tujuan mencapai gelar doktor praktis gagal direngkuh karena dihalang-halangi oleh sentimen Snouck Hungronje selaku Profesor di Fakultas Sastra dan Filsafat di Universitas Leiden, menggantikan posisi Prof Kern yang pensiun.

Sekali lagi, Sosrokartono adalah seorang poliglot atau ahli banyak bahasa. Berkat kemampuannya tersebut dia menjadi seorang penerjemah profesional di Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations), sebuah embrio dari berdirinya PBB (United Nations Organization). Dari tahun 1919 – 1921 Sosrokartono menjabat sebagai Kepala Penterjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa. Pada kisaran waktu yang relatif bersamaan, Sosrokartono juga diangkat menjadi Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Perancis di Belanda pada 1919.

Titik Balik Sejarah

Hingga suatu ketika terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka Sosrokartono sendiri, dan hal itu tampaknya kemudian menjadi penanda penting bagi momen perubahan arah sejarah hidupnya nanti. Apa yang terjadi?

Sosrokartono memiliki kemampuan menyembuhkan sakit anak kerabatnya yang terserang demam tinggi, yakni hanya dengan cara meletakan tangannya pada dahi bocah itu. Berbekal dorongan hati yang penuh cinta kasih dan hasrat besar untuk meringankan penderitaan orang lain, maka segera dan seketika seolah terjadilah sebuah keajaiban. Setelah dahinya diusap Sosrokartono, si bocah yang sakit itu berangsur-angsur membaik hanya dalam hitungan detik, dan pada hari itu juga ia sembuh. Kejadian itu membuat banyak orang terheran-heran, termasuk juga bagi Sosrokartono sendiri. Dia dikatakan banyak orang memiliki daya kekuatan batin yang sangat besar yang selama ini justru tak pernah disadarinya.

Mendengar penjelasan itu beliau merenungkan dirinya dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa, tempat Liga Bangsa-Bangsa bermarkas. Lantas dia pergi ke Paris dengan maksud belajar Psychometrie dan Psychotecniek di Universitas Sorbonne. Akan tetapi, karena dia lulusan fakultas bahasa dan sastra, bukan lulusan fakultas kedokteran, maka dia hanya boleh menjadi mahasiswa pendengar (toehoorder) semata. Sosrokartono tentu saja kecewa berat, karena hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas dan tidak sesuai dengan harapannya.

Di tengah-tengah kekecewaan hatinya itu, muncul rasa kerinduan Sosrokartono pulang ke tanah air. Sebenarnya tak terlalu jelas alasan kepulangannya itu, selain dikatakan melalui surat kepada keluarga Abendanon bahwa dia disuruh pulang oleh keluarga besarnya, diminta mencari pekerjaan di tanah air. Tercatat kepulangan Sosrokartono ke Indonesia pada pertengahan tahun 1925, saat-saat di mana radikalisme pergerakan dan politik non-kooperatif di tanah air tengah mengalami fenomena pasang naik.

Mudah diduga kepulangan Sosrokartono menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Pemerintah Belanda. Seorang yang lama tinggal di Belanda bahkan sampai berkarir di Eropa jelas membuat Sosrokartono dicap sebagai seorang Komunis. Seluruh ruang geraknya dieliminir dan dimonitor.

Adalah Van der Plas yang bertugas mengawasi dan membayangi aktivitas Sosrokartono. Dalam “Rapport betreffende de Neutralisering en Bestrijding Van Revolutionnaire Propaganda onder de Inheemse Bevolking” (laporan mengenai pencegahan dan pemberantasan propaganda revolusioner di kalangan penduduk pribumi) tahun 1926, Plas melapirkan black list yang memuat daftar nama-nama orang Indonesia yang dianggap berbahaya. Sosrokartono berada pada urutan ke-12. Plas melaporkan bahwa: Sosrokartono adalah seorang koresponden sebuah harian luar negeri, hidup dari penghasilan yang rahasia, menjabat sebagai direktur Mulo Nasional Taman Siswa dan anggota Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno. Singkat kata, Sosrokartono dianggap terlibat dalam dunia politik.

Namun sejak terpaksa keluar dari Taman Siswa karena tekanan politik dari Pemerintah Belanda pada 1927, Sosrokartono kemudian menjadi suka melakukan praktik asketis, tapa brata. Orang Jawa lazim menyebutnya “laku”. Buku “Ilmu Kantong Bolong, Ilmu Kantong Kosong, Ilmu Kantong Sunyi Drs. R.M.P Sosrokartono” tulisan R. Muhammad Ali, mencatat bahwa selama bertahun-tahun Sosrokartono konon tak pernah berbaring di tempat tidur. Sosrokartono menjalani laku tidur dengan mengambil posisi duduk bersila atau berdiri. Ali juga menyebutkan bahwa, selama berbulan-bulan Sosrokartono tak pernah makan, setiap harinya hanya minum dua cangkir teh. Atau kalaupun makan, yang dimakan bukannya nasi tapi hanya satu atau dua biji cabe. Tak kecuali, selama beberapa tahun dia setiap malam selalu menjalani laku jalan kaki selama beberapa jam tanpa berhenti.

Pada April 1930 Sosrokartono mulai mengadakan penyembuhan spiritual dengan medium air putih. “Laladi Sasameng Dumadi” demikian konsep Sosrokartono, tiap hari dia memberikan pertolongan kepada tiap orang tanpa membedakan bangsa, suku-bangsa, agama, kepercayaan, dan kedudukan. Dan Sosrokartono memang ‘sakti’. Banyak kasus orang sakit di mana medis sudah angkat tangan tapi justru berhasil sembuh diobatinya hanya dengan minum air putih. Orang Jawa yang berobat padanya memanggilnya Ndoro Sosro. Orang Sunda menyebutnya Dokter Cai atau Juragan Dokter Cai Pengeran atau Dokter Alif. Sementara orang Belanda dan Indo Belanda menyebutnya Oom Sos dan kalangan kedokteran menyebutnya Wonder Dokter (dokter ajaib). Sedang dia sendiri lebih senang menyebut dirinya Mandor Klungsu, biji asam yang tak ada harganya dan hanya dipakai untuk mainan anak-anak pada zaman tersebut.

Barangkali saja kegairahan Sosrokartono memang bukanlah dunia politik praktis atau akademis, melainkan lebih sebagai seorang spiritualis Islam-Kejawen. Susah memang menemukan sebuah analisis yang memuaskan untuk menjelaskan periode titik balik sejarah hidup Sosrokartono, dari seorang pribadi yang boleh dikata Western oriented tapi kemudian menjadi seorang pertapa-mistikus a-la Jawa. Melihat pilihannya semua petitah-petitih (quotes) renungannya dirumuskan dalam bahasa Jawa, bahasa ibu Sosrokartono, sementara dia adalah seorang poliglot yang sanggup menulis quotes-nya dalam bahasa manapun, semakin memperlihatkan kecintaan Sosrokartono pada budaya Jawa sebagai latarbelakang sejarah hidupnya.

Pada titik ini, konon Snouck Hungronje pernah membuat analisis tentang kegagalan Sosrokartono mengadopsi model rasionalisme Barat. Apa pasal? Menurut Hungronje, penyebab Sosrokartono menjadi ‘mistis’ kembali, sebagaimana lazimnya orang Jawa pada umumnya, dikarenakan perjumpaannya dengan filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Ya, filsafat sejarah Hegelian itu tampaknya telah memberikan bentuk rasionalisasi terhadap logika mistis si Mandor Klungsu, yang pada hakikatnya memang memiliki kecenderungan spiritualisme yang besar.

Tinggalkan Balasan