PERTANIAN

Ketika Kretek Digugat

Kemaslahatan kretek bagi bangsa Indonesia bukan hanya simbol dari daya kreatifitas asli bangsa Indonesia. Kretek adalah sekaligus jiwa pemersatu bagi bangsa Indonesia.

ketika-kretek-digugat-cengkeh

[dropcap]S[/dropcap]epekan lalu sebuah LSM yang mendaku sebagai pusat kajian advokasi kerakyatan meluncurkan buku yang isinya menolak eksistensi kretek sebagai warisan budaya bangsa. Salah satu dalilnya sederhana tapi ngawur: kretek bukan budaya bangsa karena tembakaunya saja dibawa oleh penjajah Belanda. Jadi menurut kesimpulan mereka karena tembakau bukan asli dari Indonesia maka kretek bukanlah warisan budaya bangsa Indonesia.

LSM yang menamai dirinya RAYA (Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan) ini diketahui memperoleh kucuran dana asing dari lembaga Blomberg Initiative. Besaran angkanya mencapai kisaran Rp. 320-an juta, jelas angka yang tak kecil untuk sebuah pendanaan proyek. Tugasnya apalagi kalau bukan menghadang keabsahan diskursus kretek sebagai salah satu warisan budaya. Kretek sebagai produk tembakau harus dideligitimasi secara kebudayaan supaya tidak mendapatkan perlindungan dari sisi manapun. Dengan dalih memperjuangkan kesehatan masyarakat, LSM tersebut merasa sah dan bahkan terhormat ketika menghadang tradisi kretek sekalipun sumbernya dari pihak asing, tentu tanpa sikap kritis mempertanyakan agenda tersembunyi di balik baju filantropis Blomberg Initiative.

Pernyataan dari para pegiat LSM itu terang perlu dikritisi, terutama perihal alasan mereka menganggap suatu benda bisa disebut warisan budaya atau bukan. Secara teoritik merujuk konsepsi Laurajane Smith dalam buku Use of Heritage (2006), apa yang disebut warisan budaya setidaknya memiliki karakteristik antara lain materialitas (wujud kebendaan), usia, estetika, dan atau sifat monumental. Secara bersamaan keempat komponen ini membangun dan mencerminkan identitas tentang kebangsaan, kelas, budaya, dan etnis. Dengan begitu ditinjau dari teori ini warisan budaya bukan hanya semata ditinjau dari asal-usul bendanya saja. Tapi, lebih pada bagaimana sebuah benda telah berjalin berkelidan sebegitu rupa sehingga membentuk sekaligus mencerminkan identitas suatu bangsa, kelas, budaya, dan etnisnya.

Tradisi kretek jelas memenuhi prasyarat warisan budaya yang dikonsepsikan oleh Laurajane tersebut. Penemuan kretek pada abad 19 di Kudus menjelaskan sejumlah proses kreatifitas dan adaptif yang berpegang pada semangat berdikari masyarakat Indonesia dibawah tatanan kolonial. Kreatifitas hasil racikan tembakau dan cengkeh plus rempah-rempah lainnya menghasilkan satu produk olahan khas Indonesia, yang notabene berbeda dari produk olahan tembakau lainnya yang datang dari Barat.

Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir berkisar antara 1870 – 1880. Artinya usia budaya kretek saat ini kurang-lebih sudah melebihi 125 tahun. Ini artinya usia kretek 75 tahun lebih dari ketentuan umum tentang usia sebuah benda cagar budaya yang hanya berumur 50 tahun sebagaimana definisi UU Cagarbudaya 2010. Tak salah sekiranya sejarawan UGM, Sri Margana dalam bukunya Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya mengatakan bahwa “Kretek adalah benda budaya yang memiliki kekhasan kultural dan historis.”

Pernyataan Sri Margana sangat beralasan jika ditinjau dari kemampuan kretek berkembang dinamis melintasi sejarah dan zaman. Kretek tak hanya kemudian menyebar dari Kudus ke banyak wilayah lain di Indonesia, melainkan juga mengalami proses sejarah inovasi serta evolusi yang panjang hingga menjadi produk kretek sebagaimana kita kenal kini. Panjangnya lintasan sejarah kretek telah membentuk pola ‘pengetahuan lokal’ masyarakat secara mendalam, khususnya bagi mereka yang kehidupannya erat dengan budidaya tembakau dan cengkeh. Lebih jauh, juga telah turut membentuk tradisi dan ritus sosial masyarakat, sebagai contoh hal ini tercermin pada ritual Slametan dalam budaya Jawa atau sebagai media keakraban sosial dalam budaya populer secara umum, misalnya.

Kemampuan proses adaptasi kultural bangsa Indonesia terhadap segala sesuatu yang berasal dari luar, kesanggupan menyerap dan kemudian membentuknya kembali sesuai nalar budaya lokalnya sehingga membentuk budaya yang khas bangsa ini, sebenarnya telah populer di kalangan banyak peneliti atau Indonesianis. Ada banyak istilah kunci untuk mengidentifikasi gejala budaya keindonesiaan tersebut, antara lain budaya sinkretisme, budaya hibrida, lokalisasi atau Jawanisasi, atau osmosis, dan sebagainya. Dari konklusi teoritis-nya Brandes hingga yang paling muthakir Denys Lombard sekalipun, tak pernah ada kesimpulan bahwa produk budaya di Indonesia imun dari pengaruh luar, yang terjadi justru sebaliknya.

Artinya justru sungguh naif, dan terkesan apologetik seturut “keimanan” antirokok belaka atau barangkali sekadar menuruti keinginan pihak donor, ketika LSM RAYA mendalilkan penolakan kretek sebagai warisan budaya semata-mata berdasarkan aspek originalitas tanaman tembakau. Tak hanya tembakau yang berasal dari luar, bahkan hampir semua produk kebudayaan kita, sekiranya kita persoalkan secara historis juga tak sepenuhnya “bebas” dari kontroversi perihal aspek originalitasnya. Sebutlah keris, batik, wayang, keroncong bahkan hingga dangdut, orang bisa saling berbantah dan beradu argumen soal asal-usulnya hingga berbusa-busa dan susah mencari titik temu yang pasti dan ilmiah. Tapi demikian, semua orang pasti akan setuju atau bahkan mengafirmasi sepenuhnya bahwa keris, batik, wayang, keroncong, dangdut dan juga kretek memiliki kekhasan tersendiri yang demikian kuat dan karakteristik yang tak dipunyai oleh bangsa lain selain Indonesia.

Kesempitan berpikir dalam memahami budaya oleh segilintir orang demi mendapatkan dana hibah untuk menjegal kretek sebagai warisan budaya adalah wujud dari pengkhianatan terhadap sejarah budaya bangsa sendiri. Kemaslahatan kretek bagi bangsa Indonesia bukan hanya simbol dari daya kreatifitas asli bangsa Indonesia. Kretek adalah sekaligus jiwa pemersatu bagi bangsa Indonesia. Mark Hanusz, melaui bukunya Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes menekankan bahwa kretek sebagai sebuah warisan budaya memiliki makna dalam bagi pertumbuhan ekonomi dan sekaligus mewariskan tradisi budaya yang kuat.

Tapi mungkin justru dengan pertentangan ini budaya kretek akan terus hidup dan menghidupi. Seperti apa yang telah dinyatakan oleh Romo Banar dalam pengantar buku Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya, bahwa kretek sebagai dunia ajaib yang tidak akan pernah musnah. Kretek akan terus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peradaban.

Tinggalkan Balasan