logo boleh merokok putih 2

Islam dan Demokrasi, Sebuah Kisah Menunggu Godot?

Di sini dapat diberi catatan kecil: dalam banyak kasus (Mesir, Libya, Irak, Suriah) proses transisi dari pemerintah lama menuju pemerintahan baru berjalan sangat keras dan berdarah-darah.

[dropcap]S[/dropcap]usah tak mengakui, aksi massa umat muslim pada 4 November dan 2 Desember merupakan aksi massa yang ampuh, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada dua Jumat itu di sekitaran istana negara yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini tak pelak memutih karena ratusan ribu orang menyemut meneriakan tuntutan hukuman atas Ahok yang diduga menista agama. Bayangkan, tafsiran moderat aksi itu masing-masing diikuti limaratusan ribu orang. Sungguh luar biasa.

Secara kuantitatif, kedua momen itu adalah aksi massa terbesar pasca reformasi. Sejak memasuki era demokratisasi kita belum pernah menyaksikan aksi massa yang sanggup melibatkan partisipasi masyarakat sebesar itu. Sedang secara kualitatif, kedua aksi itu terang terorganisir sangat baik. Mengelola massa sebesar itu bukanlah pekerjaan mudah. Sekalipun momen 4 November di sana-sini muncul kekurangan, tapi toh nisbi tidak ada bentrokan yang berarti antara massa dan aparat.

Sebelum lebih jauh mengulas, di sini penting saya ingatkan bahwa prinsip anti kekerasan (non-violence) merupakan satu pilar demokrasi. Kerumunan aksi massa umat Islam yang berjumlah ratusan ribu, dengan isu yang begitu emosional tapi tak terjadi chaos, menurut saya merupakan fakta-sosial yang penting dicatat. Berpijak hal itu, saya memberanikan diri merumuskan hipotesa: bahwa aksi massa itu mencerminkan mulai jumbuhnya Islam dan demokrasi yang juga berarti mulai mekarnya nilai-nilai demokrasi. Malah bukan tak mungkin (probable), menurut saya, sebenarnya di Indonesia sedang mulai muncul embrio Muslim-demokrat sebagaimana model Kristen-demokrat di Barat, yang entitas ini kita tahu berperan penting menumbuhkan wajah budaya politik yang demokratis di lingkungan mereka.

Orang barangkali tertawa dan segera mengatakan bangunan hipotesa saya terlalu lemah, konteks analisis saya dikritik parsial dan sekadar disandarkan pada momen dua aksi massa itu saja. Atau barangkali juga segera menuai kritik epistemologis, bahwa analisis saya sekadar model pendekatan fenomenologis, cenderung a-historis, atau paling-paling hanya hasil analisis media. Sementara yang lain, barangkali segera nyinyir dan serta merta mengatakan pendekatan saya ekletis dan mana-suka. Singkat kata, seluruh pijakan analisis saya lemah dan, karena itu, hipotesa saya itu juga lemah dan mengada-ada.

Ya, bagaimana tidak, sepanjang pemilu pasca Orde Baru toh tak satupun partai yang mengemban tendensi Islam-politik berhasil mendulang suara signifikan. Bagaimana mungkin, dua aksi massa yang momentumnya dipicu oleh isu yang diskriminatif, malah hendak disimpulkan sebagai cermin mulai jumbuhnya Islam dan demokrasi? Lantas dari mana dasar hipotesa saya hendak dikontruksi?

Islam dan Demokrasi

Saya tahu, hampir semua teoritisi tentang demokrasi seperti Samuel Huntington, Bernard Lewis dan Ellie Kedourie—sekadar menyebut beberapa nama—cenderung ragu atau bahkan pesimis bicara potensi jumbuhnya Islam dan demokrasi. Islam dan demokrasi dipandangnya sebagai dua makhluk yang berbeda, dan keduanya berjalan sendiri-sendiri. Saya juga tahu, bahkan tak sedikit kalangan Islam sendiri, terlebih yang bermazhab fundamentalisme, justru secara demagogis selalu menyatakan ketidakpercayaannya pada institusi demokrasi.

Ada anggapan stereotipikal di kalangan ilmuwan sosial Barat arus utama: sistem doktriner Islam yang tidak mengenal keterpisahan antara wilayah agama, hukum dan politik juga tidak mengenal gagasan sekularisme, sehingga prospek eksperimen demokratisasi jadi bernilai rendah. Budaya Islam dianggap incompatible terhadap demokrasi. Walhasil, kawasan di Timur Tengah atau bahkan Dunia Islam secara umum disimpulkan sulit diharapkan dapat melakukan proses transisi ke alam demokrasi.

Tentu tak semuanya skeptis. Sebut saja Robert N. Bellah, misalnya. Sosiolog yang popular karena tulisannya tentang Agama Tokugawa ini justru melihat, bahwa pemerintahan Islam awal yang dikembangkan oleh Muhammad di Madinah bersifat egaliterian dan partisipatoris. Doktrin tentang keadilan (al-‘adl), egalitarianisme (al-musawah), musyawarah atau negosiasi (syura), telah diwujudkan dalam praktik politik kenegaraan saat itu. Saking terkesan pada pencapaian sejarah masa lalu itu, Piagam Madina disebut Bellah sebagai konstitusi pertama di dunia yang menjunjung tinggi demokrasi dan pluralisme. Dalam “Beyond Belief : Essays on Religion in a Post-Traditionalist World” bahkan dia menyimpulkan, Piagam Madina telah melampaui zamannya dan terlalu modern untuk ukuran zaman itu. Disebut modern karena adanya komitmen, keterlibatan dan partisipasi dari seluruh komunitas politik di Madinah serta dijunjung tingginya nilai-nilai pluralisme.

Contoh lain yang menurut saya patut disebut ialah Ernest Gellner. Antropolog asal Perancis itu berpendapat bahwa di antara tiga agama monoteisme (Yahudi, Kristen dan Islam) sesungguhnya justru Islam-lah agama yang paling dekat pada modernitas. Dalam “Muslim Society” Gellner memperlihatkan bagaimana kriteria Islam tentang universalisme, yang memandang kebenaran selalu dirujukan pada kitab suci dan hadis (skripturalisme) itu ternyata sanggup melahirkan budaya melek huruf; ditambah sistem spiritual Islam yang tak mengenal hirarki kependetaan ataupun kerahiban, ini semuanya secara simultan mendorong proses individuasi yang sehat, tradisi keterpelajaran dan sikap dialog serta tumbuhnya budaya egaliter. Islam dengan begitu sangat mendukung partisipasi demokrasi dan, pada akhirnya, juga tak luput mengajarkan sistematisasi rasional pada kehidupan sosial.

Gellner menyebut pola itu sebagai “tradisi besar” Islam, yang menurutnya memiliki kesamaan unsur-unsur dasar (family resemblences) dengan hal-ihwal yang dibutuhkan bagi tumbuhnya demokrasi. Pada konteks masa depan justru Islam-lah dan bukan Kristen atau Yahudi, lanjut pandangan Gellner, yang paling dapat beradaptasi dengan perkembangan kompleksitas zaman dan budaya demokrasi.

Benar, bahwa jika paparan Bellah merupakan guratan pengingat tentang capaian sejarah Islam di masa lalu; di sisi lain pandangan Gellner karena bersifat proyeksi plus harapan maka masih harus menunggu pembuktian dari rahim sejarah.

Potret Dunia Islam

Arab Spring. Menyimak gelombang besar perubahan yang tengah melanda Timur Tengah, kita menyaksikan satu persatu para diktator di kawasan ini tumbang akibat gerakan protes rakyat. Bermula dari rezim Ben Ali di Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun, disusul Husni Mubarok di Mesir juga tumbang setelah berkuasa selama 33 tahun. Gelombang perubahan ini kemudian menjalar ke Libya dan berhasil meruntuhkan 33 tahun kekuasaan rezim Khadafi. Belum juga berhenti di situ, gelombang perubahan itu tak luput menerjang rezim Ali Abdullah Saleh di Yaman. Meskipun tak berujung pada penurunan kepala negara, gerakan demonstrasi pendukung demokrasi juga terjadi di Bahrain, Arab Saudi, Yordania, Maroko dan Aljazair. Banyak media menyebut Arab Spring sebagai bagian dari gelombang demokratisasi yang melanda dunia, sebagaimana hal ini pernah diprediksi Samuel Hutington.

Sialnya, arus perubahan ini muncul pada saat bersamaan dengan konflik berkepanjangan di Irak (2003) dan Libya (2011), sebagai dampak invansi militer AS dan NATO; di tengah-tengah konflik berkepanjangan di Irak dan munculnya pergerakan revolusi rakyat di Suriah melawan Presiden Bashar Assad, lahirlah kekuatan destruktif ISIS. Gerakan bersenjata yang mendeklarasikan Khilafah Islamiah ini tak hanya berhasil menguasai wilayah berpenduduk 10 juta di Irak dan Suriah dan mendemontrasikan kekejaman secara ekstrim, melainkan lebih jauh juga menyulut peperangan melibatkan banyak negara seperti Amerika, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Turki, Rusia, Iran, dsbnya.

Jelas, itu semua membawa konsekuensi munculnya sikap ambigu atau ambivalensi sebagian muslim Timur Tengah untuk menerima institusi demokrasi. Demokrasi tidak lagi dianggap sebagai entitas universal, sebaliknya sekadar dianggap produk bayang-bayang dominasi dan hegemoni budaya Barat juga Dunia Kristen. Kuatnya sikap ambiguitas atau ambivalensi ini membuat kita susah memprediksi bagaimana akhir kisah dari gelombang demokratisasi ini: menjadi demokratis ataukah kembali ke otoriterian?

Di sini dapat diberi catatan kecil: dalam banyak kasus (Mesir, Libya, Irak, Suriah) proses transisi dari pemerintah lama menuju pemerintahan baru berjalan sangat keras dan berdarah-darah. Barangkali berharap banyak muncul dan menguatnya institusi demokrasi di Timur Tengah sama saja seperti menunggu Godot.

Kembali ke Indonesia, saya jadi teringat maraknya wacana kebangkitan Islam di Asia Tenggara pada dekade 1990-an. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, banyak pengamat mengatakan Islam di Indonesia juga Asia Tenggara merupakan fenomena pinggiran. Jauh dari Timur Tengah sebagai pusat dan teladan Islam. Warna keislamnya Asia Tenggara dianggap tidak murni atau sinkretis, atau meminjam konsepsi Gellner dikelompokan sebagai “tradisi kecil” yang jauh dari ideal “tradisi besar.” Sebagai kajian komunitas Islam Asia Tenggara dianggap sebatas obyek marginal dan, karena itu, dilirik sambil lalu. Tapi, belakangan memasuki dekade 1990-an sejumlah pengamat Islam justru mulai memberikan komentar positif tentang arah perkembangan Islam di Asia Tenggara.

Ambil contoh Fazlur Rahman, misalnya. Guru Nurcholis Majid ini bukan saja optimisme bahkan memprediksi, titik tolak “kebangkitan Islam” akan bermula dari pinggiran di Asia Tenggara dan bukan dari pusatnya di Timur Tengah. Sejak awal Islam Asia Tenggara tumbuh di lingkungan sangat jamak, yang multireligi, multietnis dan multikultural, sehingga warna keislamannya cenderung mengambil bentuk sufisme serta mengambil garis politik moderat dan pluralistik. Apresiasi senada juga dikemukakan John L. Esposito serta Bruce Lawrence setelah beberapa kali kunjungannya mengamati budaya Islam di Indonesia dan Malaysia. Bahkan majalah TIME edisi 23 September 1996 dengan antusias menyebut perkembangan Islam di kawasan Asia Tenggara sebagai “The New Face of Islam.

Singkat kata, budaya Islam pinggiran di Asia Tenggara terutama di Indonesia dan Malaysia adalah entitas yang compatible terhadap budaya demokrasi.

Ironisnya, euforia wacana Islam yang rahmatan lil ‘alamin di Asia Tenggara itu tak berlangsung lama. Sejarah nampaknya memang tidak pernah bergerak linier serta merta. Apa yang baik dan maju tak selalu bergerak lurus dan berujung pada panen kebaikan dan kemajuan lebih jauh. Pasca Orde Baru ambruk, sebaliknya kita justru mulai melihat kemapanan model—meminjam istilah Azyumardi Azra—“Islam Lunak” mulai terusik dengan kehadiran model “Islam Keras.”

Dalam aksi-aksinya mereka tidak jarang berani menenteng-nenteng senjata tajam, merazia tempat-tempat yang dianggapnya sebagai sarang maksiat, tak ragu mengirim orang-orangnya berperang (jihad) ke Ambon dan Poso, selalu mendesak diberlakukannya Syariah Islam di daerah-daerah, dan bahkan berjuang mendirikan sistem Khilafah Islamiyah. Dalam memperjuangkan tujuannya hampir tidak mengenal kompromi, bahkan mereka tak ragu menggunakan kekerasan.

Tarik Menarik Kuasa

Di tengah maraknya fenomena Islam Keras sebagai potret Indonesia kontemporer itulah muncul dua gelombang aksi massa 4 November dan 2 Desember. Pada awalnya jelas mucul kecemasan menyebar di tengah masyarakat luas, aksi massa besar rentan ditunggangi dan potensial menyulut chaos. Tapi ajaibnya justru nisbi damai.

Saya menduga, sekalipun inisiator sekaligus korlap aksi berasal dari organisasi Islam Keras (FPI), namum nampaknya ratusan ribu umat Islam yang hadir itu berasal dari banyak irisan organisasi atau malah sekadar massa cair belaka. Terlebih pada momen aksi 2 Desember, mudah diduga massa aksi itu tak sepenuhnya dikomando oleh irisan kelompok Islam Keras. Ini nampak nyata dari bagaimana setelah Presiden Jokowi –JK hadir di lokasi dan berorasi menghimbau umat segera pulang, hal itu segera diikuti bubarnya aksi massa itu. Sementara di sisi lain beredar sas-sus jumlah massa sangat besar itu hendak diseret ke gedung DPR/MPR.

Menurut saya, kata kunci mengapa kedua aksi itu berlangsung damai justru karena sebagian besar peserta unjuk rasa datang dari kalangan umat Islam yang mengambil model Islam Lunak khas Indonesia juga Asia Tenggara. Ini sangat nampak dari respon lautan massa umat Islam yang begitu secara politik “diuwongke” oleh Pak Jokowi – JK maka karakter aslinya yang cinta damai segera manifest ke permukaan. Ini sekaligus menunjukkan, kelompok Islam Keras—atau yang oleh Dawam Rahardjo dipadankan sebagai—“Islam-Politik” di lapangan ternyata jumlahnya sangat kecil dibandingkan yang Islam Lunak atau sering dipadankan sebagai “Islam Kultural.”

Hasil survai Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan hal menarik. Ternyata hanya 11,5% responden mengetahui persis substansi pernyataan Ahok, selebihnya yang 88,5% sama sejaku tidak tahu. Menariknya lagi, survai ini menemukan 87,1% responden menyatakan belum pernah menonton video orasi Ahok di depan warga Kepulauan Seribu, dan sisanya 12,9% menyatakan sudah menonton.

Melihat temuan SMRC, kita dapat menduga lebih jauh, bahwa lautan massa umat Islam yang berunjuk rasa sebenarnya tidak membawa artikulasi politik ideologis, melainkan lebih reaksi spontanistik dan emosional yang bersifat kultural belaka. Bahwa, reaksi ini bagi sebagian orang dianggap berlebihan dan belum mencerminkan iklim rasionalitas politik dan demokrasi, hal itu benar. Tapi, membangun rasionalitas politik sendiri bukanlah pekerjaan semalaman. Ini butuh kerja politik edukasi yang nisbi lama. Dan saya rasa problem rendahnya rasionalitas politik toh bukan hanya monopoli umat Islam saja. Sehingga barangkali saja reaksi emosional umat Islam itu lebih karena ketidaktahuan bahwa orasi Ahok telah diplintir oknum tertentu.

Di depan telah saya dalilkan, bahwa aspek anti kekerasan (non-violence) adalah salah satu pilar atau struktur penting demokrasi. Jelas, tak hanya butuh itu. Demokrasi juga berhubungan erat dengan sejumlah nilai-nilai utama (virtue) sebagai prasyaratnya (sine qua non), yang terpenting ialah adanya kebebasan, kesetaraan, pengakuan HAM, toleransi, pluralisme dan multikulturalisme, serta yang lebih penting penghormatan kepada prinsip kedaulatan hukum.

Pada titik inilah hipotesa saya diuji. Sebenarnya bukan sebatas hipotesa saya, tapi malah lebih jauh ujian perihal konsistensi kekuatan Islam-kultural sebagai struktur penyangga masyarakat sipil dan intitusi demokrasi di Indonesia. Di sini persidangan Ahok adalah momentum titik kritis sejarah umat Islam Indonesia juga Asia Tenggara ke depan.

Ada pertanyaan penting yang harus dijawab oleh umat Islam sendiri dan bukan oleh saya. Yaitu: seandainya palu hakim ternyata memutus Basuki Tjahaja Purnama tidak bersalah dan karena itu dinyatakan bebas secara hukum, apakah umat Islam akan menerima dengan lapang dada?

Pasti banyak orang ragu juga saya. Tapi, saya sendiri jujur sangat berharap umat Islam dapat berlapang dada dan mau mengakui kedaulatan hukum, tentunya setelah hukum benar-benar dipastikan bekerja obyektif dan memenuhi azas keadilan. Sekiranya harapan saya itu terbukti, dan semoga memang demikian adanya nanti, maka segera saja dapat disimpulkan bahwa jumbuhnya Islam dan demokrasi di Indonesia adalah benar-benar terwujud. Dan ini juga berarti, Muslim-demokrat di Indonesia laiknya Kristen-demokrat di Barat yang saya hipotesakan itu, sebagai struktur masyarakat sipil yang menyangga bekerjanya sistem dan iklim demokrasi sudah mulai mewantah.

Bahkan lebih jauh. Fenomena ini juga bukan tidak mungkin sebuah embrio kebangkitan Islam dan renaisans Islam di Indonesia juga Asia Tenggara, yang langsung atau tidak tentu akan mempengaruhi wajah Dunia Islam di banyak negara. Islam adalah sebenar-benarnya rahmatan lil ‘alamin.

Tapi sekiranya harapan saya itu salah, yang berarti hipotesa saya juga salah: putusan hakim yang membebaskan Ahok malah memantik kegaduhan politik berkepanjangan yang berujung pada konflik sosial, maka saya pasti akan mengelus dada dan memaklumkan diri untuk bersabar dan terus bersabar. Kemudian saya menganjak masyarakat Indonesia bersama-sama menunggu Godot. Entah sampai kapan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Waskito Giri

Waskito Giri

Penulis, pemilih Jokowi, dan meyakini Nusantara sebagai asal-usul peradaban dunia. Kolektor keris.