logo boleh merokok putih 2

Involusi Budaya Jawa

Ini menumbuhkan budaya yang rumit tapi egaliter dan komunal, yang menurut Geertz tercermin pada upacara Slametan atau Kenduren, gotong-royong, sistem kekerabatan maupun tata politik Jawa.

infolusi-budaya-jawa-top

[dropcap]B[/dropcap]agi masyarakat akademis Indonesia, Clifford Geertz adalah antropolog Amerika sekaligus Indonesianis yang mempopulerkan konsep involusi. Dalam “Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia” (1963), Geertz menggunakan istilah involusi untuk menjelaskan proses mampat dan kemandekan sistem pertanian di Jawa.

Sejalan pertumbuhan penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa plus kebijakan Tanam Paksa kolonial Belanda, fenomena pertanian ditandai menyempitnya areal persawahan dan melimpahnya tenaga kerja di pedesaan. Namun karena kuatnya prinsip-prinsip budaya egaliterian dan komunalismenya, keluarga petani yang lahannya sudah kecil-kecil itu ‘dipaksa’ membagi kesempatan kerja kepada sanak saudara, kerabat dan tetangga. Walhasil, lebih jauh terjadilah apa yang disebut Geertz sebagai “pembagian kemiskinan” (shared poverty), atau mudahnya berbagi kemiskinan dengan sesama.

Konsep involusi diperkenalkan pertama kali oleh Alexander Goldenweiser, halnya Geertz juga seorang antropolog Amerika, untuk melukiskan pola kebudayaan yang boleh dikata sudah tidak berkembang karena terjadinya proses perumitan ke dalam. Dengan demikian ciri utama involusi sistem pertanian menurut Geertz adalah “tumbuh ke dalam” dan bukan mekar keluar, sehingga gagal menompang kehidupan ekonomi masyarakat petani secara memadai. Dus, involusi pertanian juga berarti pola pertanian subsisten masyarakat petani Jawa.

Simpulan Geertz tak berhenti di situ. Geertz kemudian juga menarik kesimpulan dari tesisnya itu memasuki ranah kebudayaan. Sebagai konsekuensi dari involusi sistem pertanian maka muncullah fenomena involutif pada sistem budayanya juga. Ini menumbuhkan budaya yang rumit tapi egaliter dan komunal, yang menurut Geertz tercermin pada upacara Slametan atau Kenduren, gotong-royong, sistem kekerabatan maupun tata politik Jawa. Involusi kebudayaan ini, seturut Geertz mawujud pada budaya wong tani di pedesaan, yaitu pandangan-dunia kaum abangan.

Involusi Kaum Ndara

Pada titik ini konsep involusi budaya-nya Geertz menarik digunakan sebagai piranti analisis untuk menelisih fenomena budaya Jawa secara lebih jauh. Pertanyaannya: apakah gejala involusi budaya sebagai fenomena abangan juga nisbi terjadi pada budaya kaum priyayi, lebih khususnya priyayi-atas alias kaum ndara atau mereka yang termasuk keluarga aristokrasi Jawa?

Tentu susah memberikan jawaban definitif sekaligus adekuat, kecuali juga dilakukan penelitian etnografis secara mendalam. Sayangnya lagi, seperti kita tahu, Geertz melakukan penelitian di Mojokuto, Pare, Kediri, dan bukan di pusat budaya Kejawen: Solo atau Yogyakarta. Seandainya dia meneliti di kedua daerah ini, dan mendedah lebih jauh pandangan-dunia keluarga bangsawan kraton atau kaum ndara itu, hasilnya barangkali saja tesis Geertz tentang involusi budaya Jawa justru nampak kukuh. Kenapa bisa demikian?

Mari kita cermati beberapa hal penting dari budaya priyayi-atas atau kaum ndara itu, dan kita dedah sejauh mana nalar perumitan atau penjelimetan budaya juga terjadi sebegitu rupa tak kalah dibandingkan dengan budaya abangan. Tapi, mengingat keterbatasan di sana-sini, maka pendekatan yang mungkin di sini ialah sekedar deskrispi secara fenomenologis untuk memotret indikatornya. Setidaknya ada lima indikator untuk melihat adaya gejala involusi budaya pada kaum bangsawan Jawa.

Pertama, kita bisa melihat indikator perumitan budaya kaum ndara dari fenomena pemberian nama gelar raja wangsa Mataram-Islam, sekiranya dibandingkan nama gelar raja Majapahit. Supaya kontras, ambilah nama gelar raja Mataram periode pasca Perjanjian Giyanti, di mana kerajaan oleh Belanda dibagi dua yakni Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta. Ini menandai titik nadir kekuasaan raja Mataram karena kuatnya penetrasi dan campur tangan Belanda. Sementara Majapahit sendiri bagi para priyayi, pada umumnya dikenang sebagai sebuah zaman kebesaran Jawa. Juga Raja Majapahit senantiasa diklaim sebagai leluhur dari wangsa Mataram sejak dimulainya tradisi penulisan sejarah (Babad).

Kedua, munculnya stratifikasi bahasa yaitu ngoko, krama madya dan krama inggil pada masa awal Kerajaan Mataram juga bisa kita catat sebagai indikasi perumitan budaya. Benar, barangkali saja bahasa yang terstratifikasi secara sosial adalah sebuah capaian estetis dan bernilai penting bagi perkembangan karya susastra Jawa. Tapi, terlepas daripada itu, nampak jelas strategi politik bahasa ini justru memperlihatkan bagaimana sendi-sendi kekuasaan Mataram sejak mula senyatanya cukup rapuh. Patut diingat, sejak 1511 Malaka sebagai bandar pelabuhan terpenting di Asia Tenggara telah dikuasai bangsa Portugis, dan VOC telah menguasai pelabuhan Banten sejak awal dasarwasa pertama abad ke-17.

Ketiga, mitos Ratu Kidul sebagai penguasa samudra raya disinyalir baru muncul sejak zaman Mataram. Orientasi wangsa Mataram adalah pedalaman, sebagai masyarakat agraris, membawa dampak pudarnya budaya maritim. Sedang orientasi Majapahit adalah pesisir dan budaya maritim membuat mitos penguasa laut nisbi tak diperlukan. Karenanya mudah diduga mitos Ratu Kidul adalah sekadar strategi wacana untuk menutup-nutupi kelemahan penguasaan wangsa Mataram terhadap samudra raya.

Keempat, indikasi lain juga nampak pada kerumitan tradisi tata busana bagi kaum ndara. Bagi yang paham tradisi batik klasik, misalnya, pasti segera tahu bahwa ada banyak “motif larangan”. Banyak motif tertentu hanya boleh dikenakan oleh keluarga keraton atau malah khusus hanya dikenakan raja. Juga ada motif tertentu yang hanya dikenakan khusus pada ritual tertentu, sedang motif lainnya lagi khusus dikenakan pada ritual lainnya. Demikian penuh makna simbolik dan aturan baku yang begitu njelimet hanya untuk urusan tata busana kaum ndara.

Kelima, masih terkait tata busana. Kita pasti tahu setiap raja Mataram ketika hadir sebagai raja, lengkap dengan pakaian adatnya, maka dibelakangnya selalu ada abdi-dalem yang membawa payung kebesaran. Sekilas, terkesan abdi-dalem itu bertugas memayungi raja. Benarkah demikian? Tahukah anda, apa yang sesungguhnya dipayungi abdi-dalem itu? Bukan sang raja, tapi justru bayangan raja yang ada di bawah (bahasa Jawa: “ayang-ayang”), itulah yang dipayungi. Tujuannya jelas agar ayang-ayang raja tidak terinjak orang.

Luar biasa, bukan? Bayangan raja saja tak boleh terinjak orang lain. Seorang penguasa demikian disakralkan dan diagungkan sebegitu rupa sebagai simbolik “dewa-raja”, meski di sisi lain kenyataan sebenarnya justru sudah tuna kuasa dan penguasa seremonial belaka.

Nah, bukankah lima indikator itu adalah bukti nyata fenomena involusi budaya Jawa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Panji Prakoso

Panji Prakoso

Penulis yang kadang mengisi waktu dengan memelihara burung.