REVIEW

Industri Kretek, Negara dan Pemenuhan Atas Hak Atas Pekerjaan

Kendati tanpa menjadi kewajibannya – sebagaimana halnya negara terutama pemerintah – berbagai industri pengolahan tembakau dan cengkeh telah memainkan perannya dalam memberikan kontribusinya bagi pemenuhan hak atas pekerjaan.

[dropcap]H[/dropcap]ak-hak manusia merupakan suatu klaim yang berdasar, sah (legitim) bagi setiap orang baik berdasarkan moral atau kesepakatan, ataupun perjanjian dan hukum. Hak-hak ini saling bergantung (interdependent) dan tidak terpisahkan (indivisible) satu sama lain. Namun khusus dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti hak atas pekerjaan, negara lebih terlibat dengan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak tersebut.

Pemerintah tidak boleh tanpa rencana, sebaliknya berkewajiban menyusun rencana merealisasikan hak ini. Selain itu, pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk melindungi hak atas pekerjaan supaya tidak mengakibatkan orang-orang yang bekerja kehilangan pekerjaan mereka. Maka, dalam kaitan ini pemerintah ditantang untuk pertama-tama memenuhi hak atas pekerjaan dengan menyediakan lapangan-lapangan kerja. Namun ketika muncul persoalan terkait ketegangan atau perselisihan, maka sedikitnya pemerintah wajib mempertahankan atau melindungi hak atas pekerjaan.

Kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu terkandung dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kovenan ini sudah menjadi hukum nasional sesudah diratifikasi melalui legislasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.

Dalam kovenan ini pertama-tama yang ditekankan adalah pemenuhan hak atas pekerjaan (right to work) sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 6 UU No. 11/2005. Pekerjaan yang dimaksud berlaku secara umum untuk semua orang, kecuali anak, tanpa dibatasi oleh posisi atau kedudukan dalam relasi kerja, seperti posisi pengusaha dan pekerja, petani, nelayan, pegawai negara, birokrat, politisi, dan sebagainya.

Kovenan ini memberikan perhatian yang cukup banyak terhadap orang-orang yang bekerja sebagai buruh atau pekerja upahan (wage labour), yakni terkandung dalam Pasal 7-9. Hak-hak lainnya adalah hak atas standar hidup yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.

Sejarah Panjang Industri Kretek Nasional

Sebelum kretek muncul, paling tua adalah perladangan cengkeh yang mengobarkan motif kongsi dagang VOC dalam mengeruk untung ekonomi dengan melakukan monopoli dagang untuk menguasai aliran cengkeh di Maluku. Bahkan dengan cara brutal melakukan pembuangan, pengusiran dan pembantaian terhadap penduduk pulau, serta mempekerjakan tenaga mereka yang ditaklukkan sebagai budak.

Kemudian, disusul dengan penanaman tembakau secara besar-besaran yang berlangsung secara ekstra-ekonomi di bawah program ekonomi raksasa “Tanam Paksa” (Cultuur Stelsel) selama 1830-1870 yang menyedot demikian banyak surplus yang diangkut ke Eropa.

Konon, perintis pertama kretek adalah Haji Djamhari sekitar 1870-1880, seiring berakhirnya Tanam Paksa. Kemudian dengan kemunculan perintis berikutnya, pada 1906, Haji Nitisemito yang juga berasal dari Kudus, dengan menggenjot dan memproduksi kretek ini sampai memperoleh tempat yang lebih meyakinkan di pasar domestik. Memproduksi kretek pun menjadi kebanggaan, sehingga mendorong lahirnya perusahaan rokok, baik bersekala kecil maupun menengah dan besar di wilayah Pantura Tengah.

Dengan demikian, jauh sebelum negara Republik Indonesia (RI) terbentuk, industri pengolahan cengkeh, tembakau dan kretek sudah lebih dulu memainkan perannya dalam mengembangkan kreasi dan daya cipta kebudayaan, maupun menancapkan fondasi ekonominya yang kokoh.

Tidak sedikit dari penduduk di sekitar perkebunan cengkeh dan tembakau, serta industri rokok kretek yang diserap sebagai pekerja. Memang semula, cengkeh dan tembakau – sebagai bagian dari kepentingan dagang perusahaan Belanda – diekspor ke Eropa untuk industri farmasi dan pengolahan tembakau. Namun dengan kecerdikan sejumlah orang Kudus, kedua komoditas ekspor ini diracik dalam produk yang dikenal ‘rokok cengkeh’, yang kemudian populer dengan sebutan kretek. Hampir seluruh sumber daya untuk produksi dapat dipenuhi kebutuhannya hanya di dalam negeri.

Industri pengolahan tembakau dan cengkeh itu pernah mengalami masa paling gelap ketika Indonesia diduduki penguasa fasisme-militerisme Jepang. Banyak lahan perkebunan dan ladangladang rakyat dipaksa mengabdi kepada kepentingan penguasa. Sebagian besar petani dipaksa menanami tanaman pangan. Banyak pula penduduk dipaksa bekerja sebagai romusha.

Namun, industri ini mampu bangkit kembali dari kehancuran, bahkan berhasil menyetorkan kontribusi dari total pajak dan bea sampai 18,2 persen pada 1959. Perlahan tapi pasti, setengah abad kemudian, industri kretek mengecap masa keemasannya dengan mendominasi 93 persen pangsa pasar di negerinya sendiri.

Belum ada yang melakukan penelitian untuk dapat menghitung berapa banyak nilai seluruhnya – uang, tenaga kerja, sumber daya lainnya, dan hasil perjualan produk yang ditanamkan kembali – yang sudah ditanamkan dalam industri pengolahan tembakau dan cengkeh sepanjang riwayatnya.

Dengan panjangnya proses perjalanan sejarah industri rokok kretek itu maka akar-akarnya sudah cukup dalam tertanam dan tersebar di banyak daerah. Pengakaran mereka bergandeng tangan dengan perkebunan-perkebunan tembakau dan cengkeh di banyak daerah yang diproduksi oleh banyak pekerja.

Industri ini sudah melewati fase-fase yang buruk seperti dihantam gelombang krisis ekonomi, kerusuhan sosial dan ketegangan dengan penguasa monopoli cengkeh, didera oleh dua perang dunia maupun penghancuran perkebunan, dislokasi ekonomi, dan menghadapi berbagai persaingan dan kelicikan. Namun tetap mampu bertahan dengan secara mandiri sampai memperoleh tempat yang sangat meyakinkan di negerinya sendiri.

Tanpa banyak dukungan pemerintah – sejak masa Hindia Belanda sampai sekarang – mampu menggapai masa keemasannya serta menyediakan pundi-pundi pajak dan cukai buat negara. Aset nasional ini terus berputar dan produktivitasnya meningkat yang digerakkan oleh banyak petani dan pekerja untuk mendominasi pasar domestik dan menembus pasar ekspor.

Industri pengolahan tembakau dan cengkeh sudah tumbuh sebagai sub-sektor pertanian dan industri yang penting bagi penerimaan negara dari pajak dan bea. Dengan mengerahkan segala sumber daya – membentang dari pedesaan yang ditumbuhi tanaman tembakau dan cengkeh maupun kota-kota yang digerakkan oleh roda-roda industri kretek – telah melibatkan banyak pekerja yang menggerakkan roda ekonomi sub-sektor itu.

Tidak sedikit dari mereka yang mengalami kejatuhan dan banyak pula yang muncul dengan mengandalkan modal kecil-kecilan. Namun, perkebunan tembakau dan cengkeh maupun industri kretek tidak pernah mati terkubur selamanya, bahkan sebaliknya mampu bangkit dan menggapai masa keemasannya sekarang ini.

Kendati demikian, untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya – sesuai perjanjian internasional hak-hak manusia (international bill of human rights) – bukanlah kewajiban dan tugas perusahaan-perusahaan atau para pemilik industri pengolahan tembakau dan cengkeh, melainkan kewajiban dan tugas negara terutama pemerintah yang sudah mengesahkan diri sebagai bagian dari negara-negara pihak/perserta (states parties).

Pemerintah harus mengerahkan sumber dayanya terutama dengan anggarannya untuk dipadukan dengan sumber daya industri pengolahan tembakau dan cengkeh dalam langkah dan tindakan memperluas lapangan kerja, memajukan kebijakan upah dan tunjangan pekerja, serta jaminan sosial dan memperkuat tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)

Tak hanya itu, pemerintah juga berkewajiban memberikan perlindungan terhadap para pekerja ketika mereka menghadapi perselisihan atau dirugikan dalam melaksanakan aktivitas produksi dan pekerjaan lainnya. Pemerintah harus sedapat mungkin mencegah atas kemungkinan terjadinya pemecatan atau pemutusan hubungan keja (PHK) yang menimpa para pekerja yang diupah.

Secara umum, pemerintah harus berperan mencegah orang-orang yang sudah bekerja menjadi kehilangan pekerjaan, termasuk mereka yang terlibat dalam usaha-usaha perkebunan tembakau dan cengkeh. Pemerintah pun harus melindungi lahan-lahan mereka dari penyerobotan atau bentuk penggusuran lainnya yang dapat menimbulkan kerugian atau penghilangan atas pekerjaan dan penghasilan mereka. Demikian pula pemerintah seharusnya menangani mereka kehilangan akibat kebangkrutan pabrik-pabrik.

Apapun tudingan yang dialamatkan berbagai elemen baik pada tingkat global maupun tingkat nasional, industri pengolahan tembakau dan cengkeh telah memberikan kontribusinya bagi pemenuhan hak atas pekerjaan yang diperoleh jutaan orang.

Serapan Tenaga Kerja dalam Industri Kretek

Beberapa versi berikut ini dapat menggambarkan kontribusi industri ini. Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia (GAPPRI) menanggapi rencana pemerintah menaikkan cukai yang dapat mengancam kelangsungan hidup 33 juta buruh. Partisipasi Indonesia menyebut jumlahnya sebanyak 30,5 juta orang. Koalisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) mengklaim bukan hanya petani yang dirugikan, melainkan pekerja oleh pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012, yakni sebanyak 30 juta pekerja.

Seorang pakar tembakau, Syamsul Hadi, yang diundang DPR menyatakan kontribusi bagi penciptaan lapangan kerja dari industri rokok dan yang terkait dengannya mencapai 24,4 juta dengan rincian 1,25 juta orang bekerja di ladang-ladang tembakau, 1,5 juta orang bekerja di ladang cengkeh, dan sekurang-kurangnya 10 juta orang terlibat langsung dalam industri rokok.

Mantan Rektor Universitas Jember Prof. Dr. Kabul Santoso MS – juga sebagai pakar tembakau – mengungkapkan, ada sekitar 18 juta orang mulai dari hulu sampai hilir yang hidup dari industri rokok kretek, di mana sekitar delapan juta orang menggantungkan hidup sebagai petani tembakau.

Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman (SP RTMM) memperkirakan, sebanyak 4 juta orang terlibat langsung sebagai pekerja. Bila setiap pekerja menanggung tiga orang lagi dari anggota keluarganya, maka 24 juta orang yang menggantungkan hidupnya dalam industri rokok. Sedangkan dalam perkebunan tembakau, jumlahnya orang yang terlibat mencapai 2,5 juta petani.

Kendati tanpa menjadi kewajibannya – sebagaimana halnya negara terutama pemerintah – berbagai industri pengolahan tembakau dan cengkeh telah memainkan perannya dalam memberikan kontribusinya bagi pemenuhan hak atas pekerjaan. Jutaan orang sudah dipenuhi haknya oleh berbagai perusahaan – bukan atas dasar kewajiban – melainkan karena kebutuhan sebagai implikasi dalam relasinya dengan tenaga kerja (labour power) yang saling membutuhkan.

Angka ini lebih besar jumlahnya ketimbang rencana pemerintah yang mencanangkan programnya untuk memenuhi sekitar 4.731.770 orang dalam mendapatkan hak atas pekerjaan sampai 2014, namun membutuhkan nilai investasi yang mencapai Rp 2.225 triliun, seperti yang disusun rencananya oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

*tulisan disadur dan disarikan dari sebuah buku berjudul “Dampak Pengendalian Tembakau terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”, yang ditulis oleh Suryadi Radjab. Diterbitkan oleh Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) dan Center For Law and Order Studies (CLOS), 2013. Secara lengkap, buku ini dapat diunduh melalui www.bukukretek.com

Tinggalkan Balasan