PERTANIAN

Gamelan, Sebuah Potret Arus Balik

Sebagai orang Indonesia tentu saya merasa bangga. Namun sebenarnya juga menggayut rasa miris. Sebab fenomena masyarakat urban Indonesia kini nampak justru kurang mengapresiasi musik gamelan dan seni gamel. Okestra asli (indigenous orchestra) nusantara ini kini tidak terlihat ditempatkan sebagai entitas budaya yang signifikan.

[dropcap]M[/dropcap]enurut Dr. J. L. Brandes, musik gamelan adalah satu dari sepuluh unsur budaya asli dalam kehidupan masyarakat nusantara jauh sebelum Hindu dan Budha mewarnai Indonesia.

Gamelan terdiri dari sejumlah alat musik: gong, bonang, bonang-penerus, saron, demung, slenthem, gender, kenong dan kethok, kendang, kempul, suling, kecapi, rebab dan siter. Dari banyaknya piranti jelas bukanlah musik dengan spirit individualisme. Ini ialah tradisi bermusik secara berkelompok laiknya seni orkestra. Gamel, demikan sering disebut, tersebar dalam masyarakat Sunda, Jawa, Madura, Bali, Lombok, dsb. Apa yang menarik dicatat tradisi gamelan tak ada dalam budaya mana pun di dunia selain Indonesia.

Gamelan mulai menarik perhatian khalayak Barat sejak dipentaskan pertamakali di Perancis tahun 1889. Pementasan itu dalam rangka memperingati 100 tahun Revolusi Prancis sekaligus selebrasi peresmian Menara Eiffel. Oleh pemerintah kolonial Belanda, pementasan musik gamelan itu sengaja didatangkan ke Paris untuk mengisi ruang pamer l’exhibition Universelle yang digelar selama enam bulan. Barat semakin menaruh minat dan perhatian pada gamelan ketika Perancis kembali menggelar pameran bertajuk The International Colonial Exposition tahun 1931. Dalam pagelaran ini pemerintah kolonial Belanda kembali menampilkan pementasan gamelan di sana.

Tentu patut disebut nama komponis besar Claude Debussy, yang entah sengaja atau tidak telah mempopulerkan musik gamelan ke belahan penjuru dunia. Bukan dengan musik klasik karya Debussy nan sohor itu—yang konon sangat terilhami dan terpengaruh tradisi gamelan—melainkan justru melalui berbagai statemennya yang memantik rasa penasaran banyak orang. “Harus diakui,” ujar Debussy, “jika mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling.”

 

Satu abad berlalu. Musik gamelan kini mulai populer mendunia. Sebut saja di Amerika misalnya, terlihat muncul 400-an komunitas gamel yang tersebar di 45 dari 50 negara bagian. Komunitas gamel ini sebagian besar berbasis di perguruan tinggi. Boleh dikata hampir semua universitas-universitas unggulan di sana memiliki seperangkat instrumen gamelan. Universitas California di Berkeley memiliki gamelan Kyai Udan Mas; San Jose University punya Sekar Kembar; sedang Kyai Guntur Sari ditemui di Lewis and Clark College.

Ya, bicara gamelan dan Amerika naga-naganya ada hubungan khusus dan istimewa. Tahun 1977 NASA meluncurkan sebuah pesawat tanpa awak bernama Voyager 1. Misi penerbangan ini membawa Piringan Emas Voyager, yang isinya berbagai rekaman musik, suara-suara serta foto-foto pilihan yang bertujuan menggambarkan keanekaragaman makhluk hidup dan kebudayaan masyarakat manusia. Tujuannya dalam kerangka memberi salam kepada kehidupan nun jauh di sana di luar bumi. Melodi gamelan dari Ketawang Puspawarna yang diarensemen dengan laras slendro pathet manyura oleh KRT Wasitodipuro, adalah salah satu dari sekian banyak produk kebudayaan dunia yang terpilih dan direkam Piringan Emas Voyager tersebut.

Sementara di Jepang, gamelan sudah menjadi media ajar di berbagai universitas. Di Tokyo University of Fine Art and Music terdapat grup gamel bernama Kyai Lambang Sari; di Kuntachi College of Music bernama Gamelan Sekar Jepun. Tanpa terkecuali beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Australia, juga tercatat warganya mulai gemar gamel.

Bicara Australia, saya teringat kisah sejarah gamelan Jawa yang dibikin dalam penjara Belanda paska pemberontakan PKI tahun 1926. Gamelan Digul demikian populer dinamai karena dibuat di kamp Digul. Saat Jepang menguasai tanah air tahun 1942-an, ini membawa nasib gamelan itu boyongan ke Australia. Gamelan Digul adalah gamelan pertama bagi Australia. Kini ia disimpan di School of Music – Conservatorium di Universitas Monash.

Pembuatnya ialah maestro pengrawit bernama RM Pontjo Pangrawit. Karena keterbatasan kondisi di pembuangan Tanah Merah tentu dibuat serba minimalis. Bahan dasar gamelan lazimnya menggunakan logam kuningan diganti menggunakan kaleng-kaleng bekas maupun rantang-rantang nasi yang sudah tak terpakai. Meski demikian bunyi nada-nada yang dihasilkan, merujuk telaah etnomusikolog Margaret J. Kartomi, masih memenuhi pakem tangga nada musik Jawa. Bahkan seturut Kartomi, hebatnya suara yang dihasilkan tak kalah bagusnya dengan suara gamelan berbahan kuningan.

Demikianlah, kisah Gamelan Digul membuktikan bagaimana tradisi gamelan dan seni gamel sebagai khasanah local knowledge dulu pernah benar-benar mbalung-sungsum dalam kesadaran masyarakat Indonesia dan tokoh-tokoh pegiatnya.

Sebagai orang Indonesia tentu saya merasa bangga. Namun sebenarnya juga menggayut rasa miris. Sebab fenomena masyarakat urban Indonesia kini nampak justru kurang mengapresiasi musik gamelan dan seni gamel. Okestra asli (indigenous orchestra) nusantara ini kini tidak terlihat ditempatkan sebagai entitas budaya yang signifikan. Ironis hal ini justru dilakukan oleh bangsa lain.

Tentu banyak pertanyaan menggedor-gedor jantung kesadaran kebudayaan kita. Arus balik sejarah paska jatuhnya Majapahit sebagaimana dikisahkan Pramodya Anantta Toer dalam roman Arus Balik nampaknya hingga kini masih terus berlangsung. Bahkan naga-naganya gelombang pasangnya justru semakin membesar dan tak terbendung sejalan mekarnya proyek globalisasi pasar bebas dan liberalisasi ekonomi.

Dibalik sigapnya masyarakat Barat khususnya Amerika mempelajari musik gamelan, kita tentu tetap harus bersikap skeptis. Pasalnya toh bukan mustahil di balik itu sebenarnya ada rencana besar tersembunyi membangun proyek dominasi dan hegemoni kebudayaan bagi kesejarahan Indonesia ke depan. Ini hakikinya bukan tidak mungkin justru semacam keberlanjutan proyek Javanologi dan politik etis pemerintah kolonial Belanda dulu.

Setelah paradigma modernisme dan pembangunanisme diterima kaum sekolahan secara given dan taken for granted, kini nampaknya tinggal selangkah lagi. Proyek Amerikanisasi Indonesia melalui mekanisme kebudayaan dan seni tradisi bangsa Indonesia sendiri (native) jelas membuat supremasi Amerika tak tertahan. Alhasil, proyek dominasi-hegemoni Amerika tentu akan lebih telak mengenai jantung kebudayaan masyarakat Indonesia karena kepentingan mereka salin rupa hadir dengan wajah kita.

Tinggalkan Balasan