logo boleh merokok putih 2

Cukai dan Tas Kresek

Menariknya, uang kantong plastik itu mengalir ke mana? Mekanisme pungutannya bagaimana? Siapa yang mengawasinya? Dan, lebih jauh, nantinya peruntukan sesungguhnya juga untuk apa?

cukai-taskresek

[dropcap]S[/dropcap]ejak 21 Februari 2016 pemerintah menerapkan aturan kantong plastik berbayar di gerai-gerai modern. Ya, kantong plastik atau biasa disebut tas-kresek ini bukan lagi barang gratisan seperti dulu, tapi kini berbayar.

Kebijakan ini dilatarbelakangi “kesadaran hijau” untuk mendidik masyarakat mengurangi limbah kantong plastik. Konon, kantong plastik berbayar sudah jadi tren masyarakat dunia, terlebih di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Barangkali juga karena seturut trend kesadaran ekologis itulah maka terbit Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bernomor S.71/Men LHK-II/2015 yang menetapkan seluruh gerai modern dikenakan biaya Rp.200 untuk setiap kantong plastik kepada konsumen.

Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Hidup dan Kehutanan, R Sudirman mencatat: dengan asumsi rata-rata setiap orang yang belanja di supermarket membutuhkan 3 kantong plastik, maka dalam kurun waktu satu tahun diperkirakan ada 10,95 juta lembar kantong plastik sampah per 100 gerai supermarket. Bahkan menurut pihak Kementerian sampah kantong plastik memiliki kontribusi hampir 15% dari total sampah di Indonesia. Ditaksir jumlahnya mencapai 24.500 ton per hari atau setara 8,96 juta ton per tahun. Bayangkan, banyak bukan! Mana butuh ribuan tahun untuk bisa terurai. Maka dengan menerapkan kantong plastik berbayar diharapkan mampu mengubah budaya masyarakat agar tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai.

Ada daerah yang langsung menyambut aturan itu dengan gembira. Saking gembiranya, tak tanggung-tanggung, bahkan ada pemerintah daerah yang menerbitkan Perda yang menetapkan tarif bahkan berkali-kali lipat dari ketentuan tarif minimum pemerintah. Ridwan Kamil, misalnya, Walikota Bandung itu pernah mengusulkan kantong plastik itu seharusnya malah dibandrol dengan harga Rp 2.000. Pemprov DKI Jakarta hendak memberlakukan harga Rp 5.000 di seluruh tempat perbelanjaan. Sementara Balikpapan menerapkan tarif bayar Rp 1.500 per kantong plastik dan Makassar Rp 4.500 per kantong plastik. Angka yang fantastis besarnya.

Menariknya, uang kantong plastik itu mengalir ke mana? Mekanisme pungutannya bagaimana? Siapa yang mengawasinya? Dan, lebih jauh, nantinya peruntukan sesungguhnya juga untuk apa? Setidaknya sampai saat ini, penulis belum menemukan rilis resmi dari pemerintah terkait uang kantong plastik. Yang jelas dalam lembaran APBN-P 2016 uang pungutan kantong plastik ini belum masuk ke sumber-sumber pendapatan pemerintah.

Di sisi lain, UU 39/2007 tentang Cukai menyebutkan ketentuan kategori barang kena cukai, yang antara lain karena alasan sebagai berikut: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup sehingga pemakaian atasnya perlu pembebanan pungutan. Celakanya hingga saat ini hanya dua jenis barang yang memenuhi kategori tersebut dan dinyatakan sebagai barang kena cukai. Yaitu produk minuman mengandung alkohol dan produk olahan tembakau, di mana cukai tembakau mendominasi perolehan cukai di Indonesia.

Sayangnya hingga saat ini pemerintah tidak pernah mau dan tidak pernah bisa mengenakan objek cukai lain selain produk tembakau dan minuman beralkohol. Padahal pada masa kolonial dulu setidaknya terdapat 5 jenis barang kena cukai yang diatur melalui ordonansi cukai. Gula dan minyak tanah adalah barang kena cukai, selain alkohol, bir, dan tembakau.

Berpijak pada fungsinya, cukai berfungsi sebagai pengumpul pendapatan negara dan fungsi kontrol terhadap perilaku konsumen. Daniel A. Witt, Presiden International Tax and Investment Center (ITIC) pernah mengatakan, jika kebijakan cukai dirancang dan diimplementasikan dengan tepat maka hal itu dapat menjadi sumber pendapatan pemerintah yang stabil dan terprediksi. Pendapat Daniel Witt ini sebetulnya sudah dimanifestasikan melalui UU 11/1995 tentang Cukai yang diperbarui dengan UU 39/2007 yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada negara untuk menambah objek cukai.

Sampai saat ini upaya memperluas objek cukai hanya menjadi wacana semata. Dari minuman bersoda hingga bahan bakar minyak pernah menjadi wacana yang mengemuka, namun hingga kini tak satupun berhasil terealisasi. Dan lagi-lagi dengan dalih tujuan kesehatan dan mengendalikan konsumsi tembakau maka hanya sektor ini saja yang selalu disasar dan dinaikkan terus target setoran cukai tahunannya. Kebijakan cukai yang dipatok super tinggi ini jelas kontra produktif, dan bukan mustahil akan berdampak memukul sektor industri dan perdagangannya sehingga bukan tak mungkin justru berbalik arah jadi senjata makan tuan bagi pemerintah sendiri.

Jelas, pita cukai palsu adalah pelaggaran paling kentara dalam tahap awal. Tahap berikutnya adalah konsumen meninggalkan produk buatan pabrik dan maraknya produk ilegal serta selundupan. Juga bukan tak mungkin masyarakat perokok secara kultural akan kembali ke budaya tingwe (nglinting dhewe) ketimbang membeli produk rokok pabrikan, sekiranya harganya melambung sangat tinggi hingga melampaui ambang batas rasional dan psikologis orang untuk membelinya.

Pada titik inilah kantong plastik sebenarnya bisa menjadi objek cukai baru. Ada beberapa prasyarat yang sudah dilalui tas-kresek untuk dinaikkan statusnya sebagai barang kena cukai. Toh, selama ini konsumen yang akan menggunakan tas-kresek sudah diharuskan untuk membayarnya, bahkan dengan harga mahal.

Salah satu yang masih menjadi hambatan adalah, kebijakan tas-kresek berbayar ini hanya diberlakukan di toko-toko ritel modern seperti mini, super, maupun hipermarket. Sementara, pada warung-warung kecil dan pasar tradisional masih relatif imun dari kebijakan tersebut, meskipun sebanyak 70-an persen masyarakat masih berbelanja di sana.

Selain itu, kekurangan lainnya pemerintah terkesan hanya mengatur pada tingkat hilir atau perdagangan dan bukan pada tingkat hulunya yaitu sektor produksi atau industrinya. Walhasil, sekali lagi, yang dirugikan di sini ialah masyarakat luas atau konsumen, terlebih ketika para penguasa daerah (Pemda) kemudian secara mana-suka (arbitrary) menetapkan harga kantong plastik berbayar setinggi langit dan membebankan kepada pihak pengguna akhir.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Haryanto

Haryanto

Mahasiswa yang meyakini akan sukses dengan kerupuk dan teh botol.