CUKAI

Cak Nur dan Islam Liberal

Bagi Cak Nur, orientasi masa lalu yang berlebihan harus segera digantikan dengan orientasi kepada masa depan.

cak nur-dan-islam-liberal

[dropcap]B[/dropcap]icara tafsir Islam secara liberal dan tumbuhnya komunitas epistemiknya tentu tak bisa dipisahkan dari kiprah dan kontribusi Prof. Dr. Nurcholish Masjid. Lahir dari lingkungan keluarga NU berona ‘Islam-tradisional’ di Jombang, tetapi berafiliasi politik ‘Islam-modernis’ melalui Masyumi, sosok yang populer dipanggil Cak Nur ini terlihat mengenal betul berbagai persoalan umat khususnya terkait kendala pembaharuan dan kemajuan pemikiran Islam.

Sebagai pemikir Islam, karir kecendekiawanannya dimulai sejak sekolah di Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta. Ini bersamaan terpilihnya Cak Nur sebagai Ketua PB HMI. Mejabat dua kali berturut yaitu periode 1966 – 1968 dan 1969 – 1971. Dalam fase itu ia juga jadi presiden pertama organisasi bernama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) dan Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations) pada 1969 – 1971.

Pada masa inilah Cak Nur mulai membangun citra dirinya sebagai sosok pemikir muda Islam. Artikel “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi” (1968) adalah tulisan Cak Nur yang bernas dan segera jadi bahan diskusi di lingkaran aktivis HMI dan kalangan aktivis Islam secara umum. Juga sebuah panduan ideologis yang hingga kini jadi dokumen resmi organisasi, yakni buku kader “Nilai-nilai Perjuangan HMI”, lahir dari pemikirannya selaku Ketua PB HMI. Karena ide-ide cemerlangnya itu atribut “Natsir Muda” sempat disematkan oleh para senior Masyumi, sebuah julukan prestisius yang diidam-idamkan banyak kalangan aktivis muda ‘Islam-modern’.

Tapi semilir sepoi-sepoi angin pujian segera jadi badai makian sejak Cak Nur menulis artikel “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Ditulis sebagai materi orasi pada forum pertemuan organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang tergabung dalam HMI, GPI, PII, dan PERSAMI, pada 3 Januari 1970. Tak kurang seratus artikel ditulis orang, pro dan kontra, menyambut gagasan itu. Lebih dari itu, gagasan Cak Nur itu banyak dibicarakan secara emosional dalam khutbah-khutbah Jumat dan tabligh-tabligh umum. Apa pasal?

Pilihan diksi atau terminologi Cak Nur, yaitu kata ‘liberal’ dan terlebih pada kata ‘sekularisasi’ , nampaknya jadi titik didih penolakan sekaligus pemantik polemis di lingkaran aktivis dan kaum intelektual Islam. Bukan hanya kisaran 1970-an ketika artikel itu ditulis, bahkan hingga kini juga masih terasa. Tak sedikit tudingan miring dialamatkan padanya. Selain dituduh sebagai ‘intelektual tukang’ yang memberi basis legitimasi kekuasaan Orde Baru terkait proyek pembangunanisme atau modernisme beserta agenda politik fusi partai, lebih jauh Cak Nur bahkan sering dianggap antek Amerika dan Yahudi sekaligus.

Seperti kita tahu, dalam tulisan itu Cak Nur mengintroduksi konsep “Islam, Yes; Partai Islam, No” yang berarti mendorong ide pemisahan Islam dan partai Islam seolah-olah jadi gelaran karpet merah agenda fusi partai pada awal kekuasaan Orde Baru, 1973. Juga tulisan itu mendorong ide sekularisasi yang dimaksudkannya sebagai upaya memisahkan hal-hal yang sebenarnya profan tapi selama ini justru dianggap sakral. Menurut Cak Nur, sering terjadi dan memang umumnya demikian terjadi, umat Islam tidak bisa membedakan mana nilai-nilai transedental, ukrawi, dan mana nilai yang bersifat temporal, duniawi.

Akibatnya, seturut Cak Nur spirit Islam malah tereduksi sebatas tradisionalisme, dan lebih jauh umat Muslim sebagai akibatnya malah gagap dan gagal mengadakan respon wajar terhadap perkembangan dunia pemikiran beserta situasi dinamika perubahan zaman yang ada. Walhasil, umat Islam akhirnya malah terkesan tumbuh menjadi kekuatan reaksioner.

Bagi Cak Nur, orientasi masa lalu yang berlebihan harus segera digantikan dengan orientasi kepada masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi, yaitu pembebasan dari ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam yang jumud dan beku, yang tanpa sadar sebenarnya diselimuti oleh banyak tabu dan berbagai kecurigaan a-priori terhadap segala hal yang datang dari dunia di luar Islam. Lebih-lebih, terhadap dunia pemikiran yang berasal dari dunia Barat.

Sementara proses liberalisasi pemikiran itu sendiri, menurut Cak Nur berkorelasi dengan beberapa proses dinamis lainnya. Selain ide sekularisasi, juga diperlukan adanya atmosfir intellectual freedom (kebebasan berpikir), idea of progress dan sikap terbuka, serta pentingnya muncul kelompok pembaharu pemikiran Islam yang notabene ‘liberal’.

Mari kita simak apa kata Cak Nur tentang sekularisasi, dan mari kita simak relevansi ide tersebut dengan situasi zaman ini,

“Sekularisasi”, dalam kalimat Cak Nur sendiri, “tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim sebagai sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk “menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk “mengukhrowikan”-nya”. “Sekularisasi”, masih dalam kalimat Cak Nur, “adalah pembebasan dari asuhan agama, sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan penuh pengertian, tidak sekadar konvensional belaka”.

Dengan demikian “sekularisasi” merupakan salah satu bentuk pembebasan dari pandangan-pandangan keliru yang telah mapan selama ini. Pada awalnya Cak Nur menyebut kecenderungan tradisionalisme dan sektarianisme sebagai pandangan keliru yang membelenggu umat Islam, meski nantinya sejak kepulangannya dari studi di Amerika ia mengintroduksi paradigma neo-modernisme yang notabene begitu akomodatif terhadap gagasan dan pengetahuan tradisional.

Apa yang menarik dari gagasan Cak Nur ialah, bahwa ia sangat mendukung terciptanya atmosfir kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Dengan mengambil contoh almamaternya dulu, yaitu pondok pesantren Gontor, Cak Nur mengatakan lembaga itu sebagai balai pendidikan Islam dengan corak liberal. Ini tercermin dari motto sekolah itu, “Berpikiran Bebas” setelah “Berbudi Tinggi”, “Berbadan sehat dan Berpengetahuan luas”.

Keyakinan akan ide kebebasan berpikir didasarkan pada pengertian Cak Nur tentang Islam, bahwa sesungguhnya di dalam ajaran-ajaran Islam bersemayam nilai-nilai idea of progress. Menurutnya, inilah sesungguhnya hakikat pengertian ijtihad. Sedangkan idea of progress sendiri, bagi Cak Nur bertitik tolak pada konsepsi bahwa manusia itu pada dasarnya diciptakan Tuhan dengan kualitas baik, suci dan cinta kepada kebenaran dan kemajuan (hanif). Untuk itu dibutuhkan sikap mental terbuka, sikap mental mau menerima dan mengambil ide-ide kemanusiaan dan nilai-nilai duniawi dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran. Dengan demikian ijtihad itu sendiri dimaknai sebagai metode untuk mengembangkan pemikiran secara kritis.

Dalam pandangan Cak Nur, nilai-nilai Islam itu bersifat universal dan abadi, namun ia tetap harus terus menerus di interpretasi ulang untuk merespons zaman yang terus berubah dan berbeda. Tafsiran ini didasarkan pada pengertian bahwa nilai-nilai Islam itu adalah dinamis dan bukan statis.

Cak Nur percaya akan keterbatasan pikiran manusia, mustahil manusia mampu tahu setepat-tepatnya kehendak tuhan. Rasionalitas bukanlah berarti rasionalisme, ujar Cak Nur suatu saat. Rasionalisme mendudukkan rasio sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan makna. Sementara rasionalitas lebih bermakna upaya rekontekstualisasi ajaran-ajaran Islam sesuai situasi zaman dengan mengambil idealisme moral berbasis Wahyu Tuhan sebagai fondasinya. Namun demikian karena rasio sifatnya terbatas maka justru selalu ada kemungkinan terjadi salah menafsirkan kehendak Tuhan tersebut. Keinsyafan seperti itu harus terus hidup dalam benak umat Islam. Dengan sikap ini, umat Islam akan lebih mudah bertoleransi atas keberagaman interpretasi dan mudah membangun interdialog dengan pihak yang berbeda, baik itu sesama umat Islam maupun yang berbeda agama.

Jadi, menurut Cak Nur, rasionalisasi berbeda dengan rasionalisme, demikian juga sekularisasi berbeda dari sekularisme. Seturut Cak Nur, kebudayaan dan peradaban Islam dulu justru berangkat dari idealitas kondisi tersebut. Seperti kita ketahui, umat Islam keluar dari jazirah Arab tidak mempunyai apa-apa selain iman yang teguh. Tapi kemudian di daerah-daerah baru yang mereka taklukan itu ditemuinya warisan-warisan manusiawi baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persia). Lantas, umat Islam mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang dibawanya dari Jazirah Arab dan menjadikan sebagai milik sendiri. Dari proses alkulturasi itulah kini kita mengenal hasilnya sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang besar.

Karena itu, lebih jauh menurut Cak Nur jelas dibutuhkan hadirnya kelompok pembaharuan Islam baru yang liberal. Organisasi-organisasi penelitian Islam. Sebutlah itu komunitas “epistemik liberal”, yang nanti dalam perjalanannya kemudian mendapat bentuknya secara progresif menjadi mazhab pemikiran “Islam liberal”. Cak Nur sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah terminologi “Islam liberal” untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia jelas tidak menentang ide-ide Islam liberal.

Konsisten dengan spirit pembaharuan yang sudah dicanangkan sejak muda, maka sepulangnya dari studi di Amerika, Cak Nur menyemai pemikiran-pemikiran Islam-nya dengan membangun Yayasan Paramadina (4 Desember 1994), dan kemudian melangkah lebih maju dengan mendirikan Universitas Paramadina (10 Januari 1998). Tak berlebihan sekiranya sejarah pembaharuan Islam di Indonesia kini mencatat nama besarnya. Tabik, Cak Nur!

Tinggalkan Balasan