REVIEW

Caché, Thriller yang Ingin Keluar dari Pakem

Haneke menggunakan film ini untuk menginvestigasi bagaimana pemerintah Prancis menindas orang-orang Algeria di masa lampau, dan kemudian berusaha untuk menghilangkan ingatan itu dari memori kolektif masyarakatnya.

[dropcap]F[/dropcap]ilm ini bisa disebut sebagai film thriller, namun menariknya ciri-ciri karakteristik yang biasa hadir dalam genre itu justru absen pada karya tersebut. Tidak terdengar musik yang bergembar-gembor, tidak ada penerangan cahaya yang minim, juga tidak ada potongan-potongan shot yang pesat; yang disajikan malah sebaliknya. Ada shot-shot yang sangat cerah, sampai membuat mata silau pada tatapan pertama. Hilangnya musik latarbelakang bukanlah sesuatu yang janggal dalam film Michael Haneke, tapi itu adalah hal yang janggal untuk film-film bergenre thriller. Jangka waktu antara shot-shot-nya cenderung panjang, namun tidak pernah terasa sia-sia atau membosankan; ada presisi yang sangat jitu dalam penyuntingannya.

Dari apa yang telah disebutkan di atas, nampak adanya pertentangan dari gaya bercerita film ini dengan taktik-taktik film thriller biasanya, terutama dalam menghasilkan tegangan. Namun film ini berhasil menghadirkan perasaan yang sama, bahkan lebih ampuh. Ketengangan yang dihasilkan film ini merupakan ketengangan yang sunyi dan sabar, yang pelan-pelan menyusup ke dalam kulitmu dan menciptakan tensi dalam saluran darahmu yang kemudian berbuah jantungmu berdebar kencang tiada henti, sampai akhirnya jantungmu lelah dan memutuskan untuk berhenti. Semacam itulah ketegangan yang berhasil diciptakan oleh film ini.

Michael Haneke merupakan pembuat film yang lahir di Jerman pada 1942 dan tumbuh besar di Austria. Haneke mempelajari filsafat, psikologi, dan drama pada masa kuliah setelah gagal merintis karir di dunia musik. Setelah lulus, dia bekerja sebagai kritikus film sampai menjadi sutradara TV. Meski demikian bagi Haneke sendiri tv seringkali menjadi sebuah medium yang mengakibatkan hilangnya kepekaan orang terhadap kekerasan.

Pada 1989 Haneke merilis film pertamanya, The Seventh Continent, sebuah film pertama dari trilogi yang bernama Glaciation Trilogy yang disusul oleh film Benny’s Video (1992) dan 71 Fragments of a Chronology of Chance. Tema-tema yang kerap ia selidiki diantaranya adalah kekerasan. Tak berlebihan sekiranya ia disebut orang sebagai the Philosopher of Violence. Gaya berceritanya bisa dideskripsikan seperti dingin, moralistis, berjarak, dan sangat ambigu.

Film The Seventh Continent bercerita tentang sebuah pasangan kelas atas, Georges (Daniel Auteuil) dan Anne (Juliette Binoche). Georges adalah seorang pembawa acara program televisi yang bertema sastra, dan Anne bekerja sebagai editor dalam sebuah penerbitan. Karir mereka makmur. Kehidupan sosial mereka ceria. Rumah tangga mereka stabil. Anak mereka yaitu Pierrot (Lester Makedonsky), digambarkan sebagai pribadi yang aktif walaupun cenderung cemberut karena tengah mengalami pubertas. Semua merupakan indikator dari kehidupan kelas atas yang normal.

Namun semua itu mulai terusik karena tibanya teror yang didatangkan oleh kiriman-kiriman video anonim. Pada awalnya kaset-kaset ini berisi rekaman-rekaman rumah mereka. Semua diambil dari sudut yang tak berganti, yaitu dari gang yang bersebrangan dari rumah mereka. Rekaman ini bisa berjalan sampai 2 jam, isinya hanya sebuah gambar rumah yang terkadang dilewati oleh mobil, orang bersepeda, Ibu-ibu yang sedang berjalan. Yang paling signifikan dari hasil rekaman ini hanya Anne tengah keluar dari rumahnya, dan Georges bergegas untuk kerja.

Kaset ini datang dari sebuah kantong plastik supermarket. Anne yang pertama menemukannya. Ketika Georges ingin mengecek kantong plastik tersebut untuk mencari petunjuk, Anne merasa tersinggung karena sebelumnya ia sudah mengecek duluan. Pierrot pun pulang dan mereka makan malam bersama. Georges bertanya kepada Pierrot, dia habis dari mana. Pierrot memberi tahu kemudian bertanya balik, kenapa ayahnya bertanya. Georges bertanya balik, kenapa dia harus punya alasan untuk bertanya keberadaan anaknya? Pembicaraan mereka terkesan seperti sebuah perseteruan halus.

Ini merupakan salah satu dari tema-tema yang sering dibahas – atau dipertanyakan oleh Haneke, yaitu miskomunikasi; yang mencapai puncak pembedahannya dalam film Code Unknown (2000). Pertanyaan yang bersifat kasual dianggap seperti mempunyai motif tersembunyi. Karakter-karakternya lebih sering berasumsi dibanding bertanya dengan tulus. Orang-orang yang seharusnya percaya satu sama lain malah salinh meragukan satu sama lain. Terciptalah rahasia dan akhirnya juga kebohongan.

Teror semakin menjadi. Kaset-kaset itu mulai didampingi oleh gambar-gambar, terlihat seperti karya anak kecil, tapi seolah memiliki pesan mengancam. Salah satu dari gambarnya mengandung sebuah potret lelaki kecil yang memuntahkan darah. Rekamannya kurang lebih sama dengan rekaman sebelumnya, namun kali ini direkam pada malam hari. Sebelumnya film ini berada pada area objektif, tapi ketika sampai disini kita mulai memasuki ranah subjektif. Transisinya seperti layaknya sebuah kontradiksi: transisinya mendadak dan halus. Saking mendadak dan halusnya, banyak orang yang tidak menyadarinya. Setelah transisi ini, kita mulai menginvestasikan empati ke dalam karakter Georges. Perlahan-lahan mulai ada petunjuk bahwa aksi teror ini berkaitan dengan masa lalunya. Atau bisa dibilang, masa lalunya Prancis.

Haneke menaruh beban masa lalu kolonialnya Prancis ke dalam karakter Georges. Haneke menggunakan film ini untuk menginvestigasi bagaimana pemerintah Prancis menindas orang-orang Algeria di masa lampau, dan kemudian berusaha untuk menghilangkan ingatan itu dari memori kolektif masyarakatnya. Penindasan yang dibicarakan pada film ini berurusan dengan pembantaian orang-orang Algeria yang mendukung pembebasan Algeria dari kolonialismenya Prancis. Orang-orang itu dibantai ketika mereka tengah berunjuk rasa di Paris. Sampai sekarang korbannya masih belum pasti, estimasinya ratusan jiwa melayang.

Michael Haneke selalu mempunyai agenda setiap membuat film, namun dia tidak pernah mengorbankan cerita demi pesannya. Di sini pun juga sama. Georges tidak pernah dikecilkan sehingga hanya sekedar metafor. Karakter-karakternya terasa nyata. Bahkan terkadang ada momen di mana kita bisa melihat refleksi diri kita dalam karakter-karakternya. Ini terbantu juga karena penampilan para aktornya yang kuat. Binoche, seorang aktris yang dalam sepanjang karirnya dipenuhi oleh penampilan-penampilan yang hebat, memetik nada yang pas di sini. Dia bisa menarik perhatian tanpa terasa seperti mencari perhatian. Ketika situasi mulai bertambah rumit, dia tidak pernah turun ke histeria, dia bertindak selayaknya. Kita juga dapat kesan bahwa Binoche dan Auteuil benar-benar pasangan yang sudah hidup lama berdua. Ketika Georges mulai berbohong, romannya Anne berkata bahwa ia seperti tidak kenal dengan suaminya lagi.

Semakin lama semakin jelas kalau identitas pengirimnya itu tidaklah menarik, yang penting adalah bagaimana reaksi keluarga itu. Bagaimana gelembung keamanan yang dari dulu mereka jadikan rumah perlahan-lahan mulai pecah. Bagaimana respon kita ketika kita tahu bahwa kita sedang diawasi? Bahwa setiap aksi kecil yang kita lakukan diketahui orang lain? Bahwa pecahan-pecahan dari masa lalu kita, yang telah kita kubur di ujung kepala kita; yang hanya menghantui kita dalam mimpi, ternyata diketahui orang dan punya kemungkinan untuk keluar?

Pada akhirnya, banyak pertanyaan yang diajukan, namun tak ada jawaban yang disuguhkan. Meski demikian tontonan ini begitu apik karena sanggup menyuguhkan daya refleksi yang kuat bagi para penontonnya. Jelas, sebuah film yang recomended untuk ditonton.

Tinggalkan Balasan