logo boleh merokok putih 2

BPJS dan Ilmu yang Sebatas Teori

Apakah mereka tidak tahu, bahwa terkadang puskesmas kecamatan tetangga letaknya lebih mudah dijangkau daripada puskesmas kecamatan tersebut?

obat-jarum-suntik-001[dropcap]A[/dropcap]dalah farmakoekonomi, sebuah disiplin ilmu yang hendak mengukur dan membandingkan antara biaya dan hasil dari suatu pengobatan. Secara khusus, farmakoekonomi digunakan untuk menjawab pertanyaan seperti berikut: Apakah pasien memperoleh hasil terapi yang baik dengan biaya yang wajar? Apakah suatu obat layak masuk dalam daftar obat yang disubsidi? Apa kelebihan suatu obat bila dilihat dari segi cost-effectiveness bila dibandingkan dengan obat yang lain?

Secara garis besar, cost-effectiveness adalah keefektifan pembiayaan pasien dalam menggunakan obat tersebut. Misalnya ada obat A harganya 500 rupiah, tapi seorang pasien untuk dapat betul-betul sembuh, ia harus minum obat A selama 3 hari dengan frekuensi minum 3 kali sehari. Lalu ada obat B yang harganya 750 rupiah, tapi agar sembuh obat B harus diminum selama 3 hari dengan frekuensi minum 1 kali sehari. Menurut perhitungan matematis tentu obat B terlihat jauh lebih efektif dalam segi biaya dibanding obat A. Namun disiplin farmakoekonomi tidak hanya membahas sekadar soal itu. Farmakoekonomi juga akan memasukkan adanya komponen biaya lain untuk memperoleh obat tersebut sebagai bahan pertimbangannya. Selain itu, ada juga biaya untuk menanggulangi efek samping sekiranya hal itu terjadi dan atau biaya-biaya lainnya.

Dalam analisis farmakoekonomi, setidaknya biaya yang diperhitungkan terbagi menjadi 3, yaitu biaya langsung, biaya tidak langsung, dan biaya tidak terlihat. Yang menjadi komponen dalam biaya langsung adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh pasien langsung berkaitan dengan pengobatannya misalnya harga obat, jasa tenaga medis, pemeriksaan penunjang, transportasi, bayar parkir, dan semacamnya. Untuk biaya tak langsung misalnya adalah bila pasien merupakan buruh harian, maka biaya tak langsungnya adalah jumlah uang seharusnya diterima bila masuk kerja yang jadi tidak didapat oleh pasien karena sakit.

Salah satu manfaat dari analisa farmakoekonomi adalah untuk menjustifikasi pelayanan kefarmasian dengan membandingkan biaya dan manfaat. Seharusnya, analisa farmakoekonomi tidak hanya mangkrak sebagai teori, berhenti sebagai hasil penelitian atau penerapannya terbatas dalam hal pemilihan obat. Pengobatan itu sifatnya holistik makanya komponen biaya dalam analisa farmakoekonomi tidak terbatas pada harga obat dan jasa medis namun hal lain seperti transportasi, biaya parkir, bahkan pendapatan yang tidak jadi didapat karena sakit pun harus diperhitungkan. Namun sepertinya hal-hal tersebut belum terfikirkan oleh orang-orang yang berwenang.

Siang tadi, ketika saya pulang dari bekerja di sebuah klinik swasta yang merupakan provider BPJS, seorang ibu-ibu menghampiri saya.

“Neng, Ibu mau tanya, apakah kartu ini bisa dipakai di klinik tempat eneng kerja enggak sih?” tanyanya sambil menunjukkan Kartu Indonesia Sehat.

Saya lantas mengambil kartu tersebut dan membaca fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tertera dalam kartu itu bertuliskan nama puskesmas.

“Maaf, enggak bisa Bu. Ini kartu bisanya dipakai cuma di puskesmas sana. Kalau Ibu mau berobat ke klinik tempat saya kerja, ibu harus lapor dulu ke BPJS bahwa fasilitas kesehatan tingkat I-nya Ibu mau pindah,” terang saya.

“Ibu dapet kartu ini kapan?”

“Minggu kemarin,” jawab Ibu itu.

“Wah, itu enggak mungkin bisa, Bu. Aturannya memang harus nunggu 3 bulan dulu baru bisa minta pindah,” jawab saya.

Ya, menurut Peraturan Presiden No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No.12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pada Pasal 29 ayat 2, dikatakan bahwa seorang peserta untuk berpindah fasilitas kesehatan harus terdaftar minimal 3 bulan sebagai peserta aktif.

“Yah Eneng, jika Ibu harus ke puskesmas sana tuh jauh. Iya sih berobatnya gratis tapi kan kesananya saya pakai ongkos, naik angkot 2 kali. Sekalinya ngangkot biayanya 3 ribu, dua kali ngangkot jadi 6 ribu, pulang pergi jadi 12 ribu,” keluh si Ibu. “Saya mending ke puskesmas yang di sini aja. Bayarnya 7 ribu tapi naik angkot sekali doang 3 ribu. Bolak balik jadi 6 ribu. Jadi saya ngeluarin uang 13 ribu. Selisih seribu ini sama yang gratis.”

“Ibu kemarin proses daftarnya gimana sih?” tanya saya. “Apakah enggak ditanyain mau berobatnya di mana?”

“Ini ibu dapet dari kelurahan, Neng. Yang dibayarin pemerintah tea,” jawab si Ibu.

Dalam peraturan yang sama di Pasal 29 ayat 1 dikatakan bahwa untuk pertamakali peserta didaftarkan BPJS kesehatan pada satu fasilitas kesehatan tingkat pertama yang ditetapkan berdasarkan rekomendasi dinas kesehatan setempat.

Lalu apa yang menjadi pertimbangan mereka memilihkan fasilitas tersebut? Mungkin berdasarkan domisilinya. Namun apakah mereka merasa tidak perlu memikirkan akses penduduk ke fasilitas kesehatan tersebut? Apakah mereka tidak tahu, bahwa terkadang puskesmas kecamatan tetangga letaknya lebih mudah dijangkau daripada puskesmas kecamatan tersebut? Memang sih, setelah 3 bulan mereka bisa pindah fasilitas kesehatan ke tempat yang mereka inginkan. Tapi tidakkah pihak pihak terkait memikirkan nasib orang-orang ini selama 3 bulan itu?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Meita Eryanti

Meita Eryanti

Former Apoteker Pendamping at Mayapada Hospital