PERTANIAN

Anang dan Hak Merokok

Anang Hermansyah. Musisi papan atas yang kini merangkap anggota DPR, kedapatan merokok di ruang sidang. Akun twitter @fadjroel mengunggah sebuah foto untuk menyindir anggota Dewan yang diduga adalah Anang Hermansyah. Foto Anang merokok di ruang sidang DPR segera beredar di media sosial. Tak pelak suami Ashanty ini tentu langsung di-bully para aktivis dan simpatisan anti-tembakau. Tanggap diri, Anang pun melalui akun twitternya @ananghijau segera meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi tindakan itu.

Sebelum Republik ini berdiri, tradisi merokok atau mengkretek sejatinya sudah menjadi kelaziman perilaku masyarakat. Sejarah mencatat sejak zaman Sultan Agung, racikan tembakau plus rempah-rempah bersanding daun sirih dan gambir (nyusur, nyirih,nginang, ngudut, ngeses), sudah menjadi menu utama dalam tiap sajian penting masyarakat di nusantara.

Selain itu, apa yang penting diingat adalah, bahwa rokok adalah produk legal yang dilindungi Undang-undang. Oleh karena itu merokok adalah hak konstitusional setiap warga negara yang juga dilindungi Undang-undang. Artinya eksistensi ruang publik, termasuk di dalamnya adalah tempat kerja, seharusnya tidak menisbikan dan meminggirkan keberadaan yang merokok. Lebih-lebih mengingat para perokok adalah penyumbang cukai terbesar bagi negara. Tercatat lebih 100 trilyun setiap tahunnya konsumsi tembakau masyarakat telah menyumbang bagi pendapatan APBN. Dengan kata lain, keberadaan ruang publik, termasuk tentunya ruang kerja gedung DPR, semestinya menyediakan fasilitas ruang merokok (smoking areas).

Mahkamah Konstitusi mewajibkan penyediaan ruang merokok baik itu di tempat kerja, tempat umum maupun tempat lainnya. Dalil Mahkamah didasarkan pada fakta, bahwa merokok secara hukum adalah legal. Sehingga, lebih jauh menurut MK, proporsionalitas pengaturan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) secara adil dan berimbang harus disertai penetapan kawasan merokok untuk mengakomodasi kepentingan perokok, yang justru sebenarnya juga sekaligus didasarkan pada pertimbangan kepentingan publik yang tidak merokok agar terhindar dari ancaman bahaya rokok bagi kesehatan.

Gedung DPR/MPR secara keseluruhan adalah merupakan tempat kerja bagi semua anggota DPR, tentunya juga bagi Anang Hermansyah yang mengawali karir politiknya dari panen popularitasnya sebagai pemusik kondang. Gedung DPR/MPR tentu sekaligus adalah tempat umum atau ruang publik bagi khalayak masyarakat Indonesia untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya, baik yang merokok maupun yang tak merokok. Pertanyaannya ialah, sejauh mana gedung DPR/MPR sebagai tempat kerja dan tempat umum itu telah menyediakan ruang merokok sebagai implementasi dari amar putusan MK yang notabene sebenarnya bersifat “wajib”? Jawabnya adalah “tidak ada”!

Dengan demikian maraknya fenomena para perokok yang tetap saja aktif merokok di kawasan dilarang merokok (KTR), sebagaimana kasus Anang atau banyak anggota Dewan lainnya di gedung DPR/MPR, justru karena tiadanya kawasan khusus untuk merokok. Artinya dalam konteks kasus perokok yang merokok di gedung DPR/MPR, siapapun itu, tak hanya Anang, bisa disimpulkan bukanlah sepenuhnya kesalahan mereka. Pasalnya, sementara di sisi lain Pemerintah sama sekali tidak memberikan hak konstitusional yang dimiliki para perokok, yang merujuk putusan MK No. 57/PUU-IX/2011 seharusnya wajib menyediakan fasilitas ruang merokok.

Terlebih Anang selain berasal dari kota Jember, juga maju menjadi anggota DPR dari PAN mewakili Dapil Jawa Timur IV yang meliputi Kabupaten Jember dan Kabupaten Lumajang. Dua kabupaten sentra perkebunan tembakau bahkan sejak zaman kolonial Belanda, jauh hari sebelum Anang lahir.

Menyimak adanya ikatan kuat antara Anang dan kota Jember, mudah diduga Anang tentu memiliki ikatan kuat dengan kehidupan masyarakat petani tembakau di sana. Sehingga, barangkali saja kasus Anang merokok di ruang gedung DPR/MPR bisa ditafsirkan sebagai sikap protes terselubung. Entah disadari atau tidak, tindakan merokok itu adalah bentuk protes terselubung Anang karena tidak dibangunnya fasilitas ruang merokok sebagai perwujudan hak konstitusional warga negara, yang semestinya diberikan pemerintah sebagai realisasi amanat Undang-undang.

Tinggalkan Balasan