logo boleh merokok putih 2

Aku, Tembakau, dan Muhammadiyah

tembakau muhammadiyah

Kualitas opini tersebut mencerminkan Buya Syafii Maarif sebagai intelektual tukang. Bukan opini seorang Bapak Bangsa yang seharusnya menginspirasi semua golongan untuk mengubah keadaan negeri ini.

rokok-kretek

 

Membaca opini Buya Syafii Maarif di harian Kompas (19/1/2016) terus terang membuat saya jadi merasa kasihan dengan beliau. Pasalnya Buya Syafii saat ini bukan hanya milik Muhammadiyah saja. Kiprah beliau dalam semua aspek kebangsaan seharusnya membuat beliau mampu berdiri diatas semua golongan. Buya milik seluruh bangsa Indonesia. Bukan apa-apa, melalui opini tersebut posisi beliau sebagai seorang Bapak Bangsa, Ulama sekaligus Cendekiawan dan Mantan Ketua PP Muhammadiyah, jelas telah dieksploitasi sebegitu rupa oleh kelompok anti tembakau.

Beliau dijadikan corong kampanye melakukan propaganda anti tembakau dengan sumber informasi yang sangat tidak berimbang. Kualitas opini tersebut mencerminkan Buya Syafii Maarif sebagai intelektual tukang, bukan opini seorang Bapak Bangsa yang seharusnya menginspirasi semua golongan untuk mengubah keadaan negeri ini.

Dalam opininya Buya Syafii sudah melakukan penghakiman terhadap tanaman tembakau. Beliau hanya mengimani bahwa tembakau telah menjadi mesin pembunuh, memiskinkan dan membuat malu bagi bangsa ini di dunia internasional. Dengan hanya mendengar informasi dari satu sumber saja. Bahwa, seluruh hal yang dikatakan kelompok anti rokok dianggap sebagai kebenaran yang harus dijalani bangsa ini. Sehingga apapun yang dikehendaki oleh kelompok itu kemudian secara naïf dan tidak kritis diiyakan oleh beliau. Barangkali saja di tengah kesibukannya saat ini beliau sudah tidak punya waktu mendengar keluh kesah umat, aspirasi petani tembakau, sebagaimana saat menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah dulu.

Fatwa Haram Terhadap Rokok

Sejak Majlis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok, bersama dengan organisasi-organisasi pengendalian tembakau lainnya Muhammadiyah berperan sebagai garda depan kampanye anti rokok. Namun setelah terbongkar adanya aliran dana 3,5 Milyar dari Bloomberg Initiative, Muhammadiyah agak mengendurkan langkahnya sebagai garda depan kampanye anti tembakau. Tidak elok rasanya ormas Islam harus menerima gelontoran dana dari lembaga nirlaba yang dipunyai seorang Yahudi Amerika. Hal itu akan membuat malu Muhammadiyah.

Sejak itu Muhammadiyah terlihat melakukan kampanye dikalangan internal Muhammadiyah saja. Diawali dengan pemberlakuan kawasan tanpa rokok di tempat-tempat yang menjadi amal usaha Muhammadiyah hingga sosialisasi di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Meskipun fatwa haram dipublikasikan kepada khalayak luas namun Muhammadiyah hanya memberlakukan fatwa itu secara internal.

Namun setelah terbitnya PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Muhammadiyah melalui perguruan-perguruan tingginya mulai kembali aktif melakukan serangkaian kampanye terbuka dan bagi kalangan ekternal. Mulai dengan mengundang para peneliti untuk mengajukan proposal penelitian untuk didanai, mengadakan berbagai kegiatan diseminasi wacana anti rokok, hingga berpuncak pada didirikan sekaligus diresmikannya Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC).

Bloomberg, Tembakau, dan Muhammadiyah

Saya tentu heran dengan semua hasil penelitian yang didanai lembaga-lembaga perguruan tinggi Muhammadiyah, hasilnya selalu mendiskreditkan tembakau. Bunyinya cenderung sama dengan penelitian-penelitian lain kelompok anti rokok pada umumnya, secara absolut selalu bernada minor, tanpa sedikitpun nada positif. Sampai di sini memang secara kelembagaan resmi Muhammadiyah tidak menerima gelontoran dana langsung dari Bloomberg Initiative. Namun ada lembaga lain yang diisi oleh orang-orang Muhammadiyah yang sampai saat ini masih menerima dana dari Bloomberg Initiative.

Mungkin Buya Syafii tidak pernah melihat atau mendapatkan informasi tentang hasil-hasil penelitian lain yang kesimpulannya berbeda dengan penelitian dibawah komando MTCC. Buya Syafii juga belum pernah mendengar tuturan Doktor Greta Zahar dan Prof Sutiman tentang Divine Kretek. Andai Buya Syafii pernah tahu diskursus lain selain dari kelompok anti rokok, saya yakin beliau tentu akan berubah pandangannya sebagaimana transformasi pemikirannya dulu, dari model syariat oriented yang kaku a-la Maududi menjadi seorang cendikiawan muslim yang inklusif model Fazlur Rahman seperti kini kita kenal.

Pada akhirnya saya tidak mau terlalu suudzon terhadap opini Buya Syafii. Mungkin Buya Syafii tengah bermaksud menjaga marwah Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang berkemajuan dan modern. Muhammadiyah harus selaras dengan kampanye-kampanye internasional dan agenda modernisme, meskipun hal itu justru merugikan bangsa ini. Jika benar demikian sungguh ironis, memang.

Sementara posisi saya pribadi sebagai seorang perokok yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga Muhammadiyah sempat merasa gamang menerima fatwa itu. Dalam hal ini tentu logika Muhammadiyah yang membuka ruang ijtihad harus digunakan daripada terus dalam posisi gamang. Dalam upaya mencari jawab dari ruang kontemplasi ijtihad saya, saya justru menemukan fakta yang sungguh menarik.

AR. Fakhrudin, Sang Pembeda

Anda tentu mengenal KH. AR. Fakhrudin, bukan? Pribadi sederhana, namun anggun dengan tutur katanya yang adem. Ya, KH. AR. Fakhrudin, yang pernah menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah dari tahun 1968 – 1990, dan dipilih secara aklamasi dalam forum sidang tanwir menggantikan KH Faqih Usman, beliau adalah seorang perokok. Bahkan, boleh dikata Pak AR, demikian beliau sering disapa termasuk perokok berat.

Pertanyaan saya, mungkinkah orang dengan pengetahuan agama yang mumpuni sekaliber Pak AR tak tahu-menahu bahwa rokok itu hukumnya haram, seperti dalil simpulan Majlis Tarjih? Atau barangkali saja Pak AR sudah terpapar adiksi nikotin sehingga beliau tidak bisa meninggalkan kebiasaan merokoknya? Ataukah bagi Pak AR, merokok itu soal pilihan pribadi dan bukan urusan publik?

Merujuk ajaran Pak AR yang selalu mengemas segala sesuatu dengan kata “entheng-enthengan”, maka dengan enteng pula saya memutuskan akan tetap merokok. Besok kalau di akhirat ditanya kenapa tetap merokok meskipun sudah diharamkan Majlis Tarjih? Akan saya jawab, saya tidak punya NBM (Nomor Baku Muhammadiyah).

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Penikmat tembakau, teh, dan camilan yang renyah. Bapak Kretek Indonesia